Apakah Hari Guru memang benar-benar bermakna bagi kita? Dalam laporan yang dirilis UNESCO, Scott (2015) menulis bahwa guru dengan kompetensi abad 21 berubah perannya dari sumber pengetahuan dan pakar akan keilmuan tertentu menjadi sekedar pelatih (trainer) atau pemandu (guiding). Perspektif semacam ini hadir karena perubahan teknologi informasi. Singkatnya; pengetahuan tidak perlu dicari karena semua sudah ada di google. Artinya guru tidak perlu lagi transfer of knowledge, cukup menfasilitasi siswa dengan media pembelajaran yang menarik.

Kata pembelajaran yang menarik telah dimaknai secara liar, brutal dan anarkis. Kadang disamakan dengan pelatihan motivasi, Emotional Spiritial Quontient (ESQ), atau pekerjaan entertaiment yang boleh jadi seperti Stand Up Comedy. Sehingga kemudian, pembelajaran yang menarik menanggung beban tiga teknik sekaligus. Guru seolah-olah harus menguasai kompetensi para motivator, spiritual training, dan pekerjaan entertaiment sekaligus. Menjadi Aa Gym, Mario Teguh, dan Najwa Shihab sekaligus tapi harus lucu. Hanya saja, pendapatan guru jauh dibawah dari ketiga profesi dengan kompetensi tersebut.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah menjadi arus utama bahwa; kegagalan seorang anak dimulai dari tahap pendidikan sekolah, dan guru adalah pihak yang harus (bold) dipersalahkan. Belakangan hal ini semakin dikampanyekan secara sengaja oleh komunitas yang peduli terhadap nasib pendidikan anak dan tentu saja pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk mengevaluasi dan menilai sekolah dan guru.

Keunggulan perspektif seperti ini menjadi arus utama, membuat masyarakat, siswa dan pemerintah sendiri akhirnya menyadari bahwa Ujian Nasional (UN)—dimana sekolah dan guru adalah aktor utamanya–lebih banyak mudharatnya. Kasus siswa bunuh diri, transaksi soal UN dan menjamurnya strategi ‘jurus jitu lulus UN’ hanya beberapa dampak dari tragedi penyelenggaraan UN setiap tahunnya. Guna menjawab hal tersebut UN akhirnya dihapus dengan syarat; lahirnya sebuah kebijakan baru yang disebut Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Karena ruang lingkupnya sering juga disebut Asesmen Nasional (AN).

Saat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mempublikasikan secara masif kebijakan baru tentang AKM, sontak hal tersebut membuat kepanikan dikalangan pendidik. Beberapa kalangan pendidik mulai mempelajarinya secara individu atau kelompok, rahasia dan terbuka. Kepanikan ini disebabkan karena masih banyak guru menganggap AKM sama saja dengan UN–secara praktek.

Kepanikan ini dimanfaatkan oleh beberapa lembaga pendidikan dan lembaga riset yang terlibat sejak awal dalam kebijakan seperti ini seperti Kampus Guru “*****” yang sempat mengadakan webinar ‘Jurus Jitu Lulus Asesmen Nasional.’ Selain itu lembaga konsultan pendidikan, PSP* yang terlibat dalam kebijakan baru Kemdikbud sejak penyederhanaan kurikulum (bahkan mungkin sebelum itu) ini juga memanfaatkan kepanikan kalangan pendidik terhadap AKM untuk meraih popularitas dan receh-receh menjadi pembicara webinar.

Aktivitas semacam itu menjadi tidak etis mengingat bahwa mereka adalah lembaga diluar Kemdikbud yang terlibat dalam perumusan dan perancangan AKM sebagai ‘mitra kemdikbud’ namun juga menjadi pembicara soal AKM dihadapan kalangan pendidik.

Praktik semacam ini seperti gosip soal Olimpiade Nasional di negara tetangga, yang biasanya dimenangkan oleh sekolah yang sudah dilatih oleh trainer—yang tidak lain adalah—panitia atau juri dari olimpiade itu sendiri. Seandainya terjadi di bidang hukum, hal semacam ini tidak bisa diterima. Misal seperti seorang hakim yang melakukan pertemuan dengan keluarga tersangka. Dalam dunia pendidikan, praktik yang abu-abu semacam ini diterima (kadang dengan terpaksa).

Artinya peluang bahwa AKM akan menimbulkan persoalan seperti UN terbuka lebar sebab pihak-pihak yang terlibat didalamnya mengeksploitasi kepanikan kalangan pendidik dengan logika pasar (Asymetric information). Dasar kepanikan ini sebenarnya terjadi dari level dasar ketika istilah asesmen dimunculkan.

Baca juga: Pengawas Sekolah, Deteksi Dini Radikalisme di Pelajar dan Sekolah

Asesmen merupakan istilah berbahasa inggris, assessment. Menurut Kamus Cambridge, Assessment artinya: the act of judging or deciding the amount, value, quality, or importance of something, or the judgment or decision that is made. Menurut KBBI (Kemdikbud.go.id) assessmentyang diserap menjadi asesmen artinya: penilaian. Maka penilaian menurut KBBI adalah proses, cara, perbuatan menilai; pemberian nilai (biji, kadar mutu, harga).

Kesimpulannya, kata penilaian justru serupa dengan makna ‘assessment’ dalam bahasa aslinya. Mengapa harus disebut asesmen jikalau maknanya sama saja dengan ‘penilaian’?

Setelah melihat penjelasan tersebut diatas, sebagai Kementrian pendidikan yang membawahi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud telah mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan arah politik bahasa. Umum diketahui bangsa yang maju sebisa mungkin mencari istilah nasional yang cocok sebelum menyerap istilah asing. Namun khusus untuk assessment, Kemdikbud lebih memilih menyerap menjadi asesmen daripada memakai istilah ‘penilaian.’

Akrobat bahasa semacam ini sebenarnya merendahkan martabat bangsa Indonesia yang berbahasa satu, bahasa Indonesia yang dikukuhkan 92 tahun silam saat Sumpah Pemuda (1928). Seolah-olah bahasa indonesia tidak memadai untuk menafsirkan bahasa terapan pendidikan–yang sebenarnya sudah tersedia.

Meski kita menghindar untuk sampai pada jawaban semacam ini, satu-satu jawaban yang tersisa atas kondisi ini adalah ‘akal-akalan program lima tahunan.’ Sepertinya kita kembali pada tradisi lama mengganti/evaluasi kurikulum, dan seluruh instrumennya setiap berganti menteri.

Ironinya, saya termasuk menyukai tipe soal dalam AKM, seperti pilihan ganda kompleks. Kompleksitas cara menjawab pilihan ganda—menurut saya—telah menyelamatkan kita dari rezim pilihan ganda versi lama (A-E). Namun, seperti dalam sejarah politik. Ini hanya pergantian rezim. Bukannya membuka kemungkinan guru berkreasi dengan soal, nyatanya Asesmen Nasional sebagai sebuah proses dan praktek mengembalikan kita pada era UN. Semoga dugaan kita keliru.

Selamat Hari Guru..