Satu waktu, Abu Hafs al-Naisabury melakukan perjalanan ke daerah Naisabur bersama para jamaahnya. Sebagai seorang ulama, memberi wejangan kepada umat adalah hal yang baisa. Hal demikian juga dilakukakn Abu Hafs dalam banyak kesempatan. Tak terkecuali dalam perjalanan kali itu.

Kepada para anggota rombongan jamaahnya itu, ia memberikan pengajian (baca: menasihati) agar mereka memiliki hati yang bersih dan baik. Alhamdulillah, selepas mendapat pencerahan, mereka pun bisa memahaminya dengan baik.

Saat itu, secara tiba-tiba, dari sebuah gunung, muncul seekor rusa yang mendekati rombongan perjalanan itu dan secara tak disangka bersimpuh di hadapan Abu Hafs. Rusa itu tiba-tiba berteriak.

Tidak disangka, Abu Hafs menangis tersedu-sedu. Tentu, hal demikian membuat para pengikut/jamaahnya bingung. Salah satu dari mereka berkata, “Wahai Syaikh, barusan engkau memberi nasihat kepada kami dan kami bisa menerimanya. Dan seketika ada rusa yang bersimpuh dan berteriak ini, tiba-tiba engkau menangis, ada apa sebenarnya? Apa yang membuatmu menangis?”.

“Iya, kalian berkumpul di hadapanku dan aku memberikan nasihat kepada kalian dan kalian bisa menerimanya. Tadi, tiba-tiba terbesit dalam hatiku suatu keinginan, bahwa jika aku memiliki seekor kambing maka aku akan menyembelihnya dan mengundang kalian untuk makan bersama,” jawa Abu Hafs.

Abu Hafs melanjutkan, bahwa ketika dalam hatinya sedang terbesit keinginan tersebut, tiba-tiba rusa itu datang menawarkan dirinya untuk disembelih oleh Abu Hafs. Hal demikianlah yang membuatnya menangis. Ia berkata, “Aku membayangkan diriku seperti Fir’aun yang meminta kepada Allah agar Dia memberinya Nil dan Allah pun mengabulkannya.”

“Aku takut jika Allah memberikan bagianku di dunia saja dan di akhirat ia tidak memberiku. Maka dengan demikian aku menjadi orang fakir yang tidak memiliki apa-apa,” kata Abu Hafs mengakhiri penjelasannya.

Kisah ini termaktub dalam kitab Mir’ah al-Zaman fii Tawarikh al-A’yan karya Syamsuddin Abi al-Mudzaffar Yusuf bin Amir Hisan al-Din Qizurghliy yang dikenal dengan nama Bast Ibn al-Jauzi dan kitab Thabaqat al-Awliya’ karya Sirajuddin Abu Hafs Umar bin Ali bin Ahmad al-Mishri atau Ibnu Mulqin.

Dari kisah di atas, terbaca dengan jelas alasan mengapa Abu Hafs menangis, yakni saat keinginan yang diharapkannya langsung dikabulkan Allah seketika itu juga. Baginya, hal itu justru adalah sebagai ancaman, jangan-jangan hanya itu yang ia dapatkan dan di akhirat ia tak mendapat apa-apa.

Lebih jauh, tangisan Abu Hafs itu menunjukkan dan mengajarkan kepada kita, bahwa jika setelah berusaha dan berdoa untuk mendapatkan suatu yang kita inginkan, namun Allah belum mengabulkannya, maka hendaknya kita tak berkecil hati. Bisa jadi memang Allah tak kabulkan di dunia, namun ia ganti dengan pahala dan nikmat yang lebih besar ketika di akhirat kelak.

Sebaliknya, andaikata keinginan kita mudah sekali terkabul dan tercapai, jangan sampai hal itu membuat kita berbangga hati secara berlebihan yang sampai membuat kita sombong dan lupa daratan. Kita tetap berharap itu adalah nikmat dan rezeki untuk kita dan di akhirat kita tetap berhak mendapatkan pahala karena kita telah berusaha secara halal dan berdoa kepada Allah.

Allah SWT berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ 

“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri” (Al-Hadid/57:23)

Ayat ini menunjukkan bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan seseorang, entah suka atau suka, itu adalah kehendak Allah. Manusia hanya dituntut untuk mengimani dan menjalaninya saja. Begitu kurang lebih penjelasan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.

Ia juga mengatakan, dalam menjalani apa yang telah ditentukan Allah itu, manusia hendaknya selalu bersabar ketika ada bencana dan bersyukur jika ada pertolongan dari Allah. Dengan demikian, ia tidak akan berputus asa (ketika mendapat kesulitan) atau sombong (ketika ada kemudahan). Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Syamsuddin Abi al-Mudzaffar Yusuf bin Amir Hisanuddin Qizurghliy, Mir’ah al-Zaman fii Tawarikh al-A’yan, vol. 16 (Beirut: Dar al-Risalah al-‘Alamiyyah, 2013), hal. 103-104.

Sirajuddin Abu Hafs Umar bin Ali bin Ahmad Al-Mishri, Thabaqat al-Awliya’ (Kairo: Maktabah al-Khaniji, 1994), hal. 250-251.

Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, vol. 9 (Singapura: Pustaka Nasional PTE PLD, n.d.), hal. 7189-7191