Jika kita menyebrangi Selat Bosporus menggunakan kapal laut menuju distrik Eminonu, Istanbul (dahulu Konstantinopel), menjelang petang, maka akan terlihat matahari terbenam di balik kubah besar Masjid Suleymaniye yang dibangun oleh Sultan Suleyman Kanuni pada abad ke-16. Masjid Suleymaniye menjadi simbol kedigdayaan Imperium Usmani (Ottoman empire) pada masa klasik. Ini juga menjadi simbol peradaban Islam pada masa periode modern awal pasca penaklukkan Istanbul pada 1453.

Warisan budaya Islam begitu melekat pada Istanbul. Namun, kota ini sebenarnya sudah dibangun jauh sebelum Islam dibawa masuk oleh Imperium Usmani. Istanbul telah menjadi saksi jatuh bangunnya peradaban Yunani, Persia hingga Romawi Bizantium. Bahkan, cerita awal mengenai Selat Bosphorus lekat dengan mitologi Yunani kuno mengenai kisah cinta segitiga antara Dewa Zeus, Hera dan Io. Tercatat beberapa penulis Yunani, seperti Polybios, Strabo, Pilinius, Arrian hingga Herodotus sudah meninggalkan informasi mengenai Selat Bosphorus.

Baca juga: Bagaimana sih, Sejarah Bertemunya Dunia Islam dan Filsafat Yunani?

Para arkeolog Turki, memperkirakan bahwa Konstantinopel sudah dihuni sejak akhir zaman Paleolitikum. Antara tahun 12.000 hingga 8.000 Sebelum Masehi (SM), pemukiman penduduk sudah mulai muncul sepanjang Istanbul hingga Karadeniz. Bukti keberadaan manusia Istanbul dapat dilihat dari artefak-artefak yang ditemukan di beberapa wilayah Istanbul, seperti Gua Yarimburgaz, Fikritepe, Pendik, Tuzla, Umraniye, Yesilkoy dan wilayah lainnya.  Arkeolog Turki, Mehmet Ozdogan, telah melakukan penelitian mendalam mengenai artefak yang ditemukan di Gua Yarimburgaz ini.

Pada 685 SM, orang-orang Yunani dari Polis Megara, biasanya adalah pelaut dan pedagang ulung, sudah mulai datang ke wilayah Istanbul. Mereka membangun pelabuhan di Selymbria (sekarang Silivri) dan koloni di Chalchadeon (sekarang distrik Kadikoy). Legenda menyebutkan bahwa pemimpin dari orang-orang Yunani ini bernama Bizas. Kemudian, koloni yang ditemukan oleh Bizas dinamakan dengan Bizantion. Nama ini merupakan asal usul nama lain dari Imperium Romawi Timur, yaitu Bizantium.

Dengan menjadi koloni Yunani, maka Bizantion menjadi kota dengan tradisi budaya dan keagamaan Yunani. Tidak heran, jika kita berjalan-jalan di kota Istanbul, maka kita akan menemukan berbagai macam artefak peninggalan Yunani. Museum Arkeologi Istanbul yang terletak tidak jauh dari Istana Topkapı menyimpan barang-barang peninggalan Yunani, mulai dari patung Alexander Yang Agung hingga Poseideon, Dewa Laut dalam mitologi Yunani.

Kedamaian orang-orang Yunani mulai terganggu dengan adanya serangan dari Imperium Persia. Persia merupakan penguasa besar di daratan Asia pada saat itu. Cyrus Yang Agung (559-530 SM). Awal mula kedatangan Cyrus ke koloni Yunani adalah karena ulah dari Raja Croesos dari Kerajaan Lydia Yunani. Dia menyerang wilayah Persia terlebih dahulu. Namun, serangan ini berbuah kegagalan. Bahkan, Cyrus Yang Agung membawa pasukan Persianya untuk menaklukkan koloni-koloni Yunani lain, termasuk Byzantion.

Kekuasaan Persia di Byzantion didelegasikan kepada pejabat gubernur yang disebut dengan satrap. John Freely, dalam bukunya berjudul Istanbul, menyatakan bahwa biasanya Persia memberikan otonomi kepada wilayah taklukannya. Byzantion ketika itu menjadi daerah otonomo yang  berada di bawah kendali Persia.  Ketika Kaisar Persia, Darius Yang Agung ingin menyerang Athena, maka dia membangun jembatan yang menghubungkan Byzantion bagian Asia dan Eropa.

Pertempuran antara Persia dan Yunani menjadi simbol konflik Barat dan Timur. Bahkan cikal bakal pesta olahraga Olimpiade bermula dari perang ini dimana seorang pembawa pesan dari Yunani berlari sejauh 25 mil untuk mengabarkan kepada Athena akan kedatangan Persia. Darius tidak sempat melihat kejatuhan Yunani. Dia wafat dan digantikan oleh Xerxes I.

Pasukan Persia tidak menyangkan bahwa Yunani mampu memukul mundur mereka dalam Perang Salamis. Sejarawan Anthony Pagden menyebut kemenangan Yunani dalam Perang Salamis ini sebagai “kemenangan demokrasi”. Atas kemenangan ini Yunani berhasil memukul mundur Persia. Pada 477 SM, Yunani mengirimkan pasukan untuk merebut Byzantion kembali.

Kemenangan Yunani dirayakan dengan pembuatan patung-patung. Salah satu patung yang dibuat untuk merayakan kemenangan ini adalah patung ular berkepala tiga dari perunggu. Patung ini dipersembahkan kepada Dewa Apollo. Di patung ular tersebut tertulis nama-nama polis yang telah membantu Yunani dalam perang melawan Persia. Patung ini nantinya akan dibawa ke Istanbul dan ditempatkan di Hypodrome, sekarang lapangan di samping Masjid Sultanahmet.

Byzantion kemudian jatuh ke tangan Macedonia dibawah Raja Philip II, ayah dari Alexander Yang Agung, pada 336 SM. Pemerintahan Alexander Yang Agung di Byzantion tidak berlangsung lama. Ketika Alexander wafat, maka wilayah kekuasaanya terpecah-pecah. Byzantion kemudian jatuh ke tangan Romawi dibawah Kaisar Septimus Severus (193-211). Ketika itu Istanbul disebut dengan “Antoniana”.

Pada masa kekuasaan Romawi, tata kota dibangun mengikuti gaya kota Roma, Italia. Stadion dan teater mulai dibangun sebagai ruang publik. Olahraga ala Roma juga diadakan di sana, seperti pertandingan gladiator hingga balap kuda. Ketika Romawi diserang oleh orang-orang Gothic sehingga meruntuhkan kedigdayaan imperium tersebut, kota Byzantion tetap aman. Bahkan di kota ini lahir Imperium Byzantium yang menganut agama Kristen Ortodoks. Salah satu peninggalan Byzantium yang paling megah adalah Gereja Ayasofya. Gereja ini dibangun pertam kali pada 360 ketika Byzantium berada di bawah kepemimpinan Emperor Konstantine I (337-361). Ketika itu Byzantion juga disebut dengan Konstantinopel.

Baca juga: Negara-negara Muslim Bersatu, Menolak Yerussalem Ibukota Israel

Interaksi antara Islam dan Konstantinopel sudah terjadi jauh sebelum serangan Sulatan Mehmed II (Fatih) dari Imperium Usmani. Sekitar abad ke-7, Dinasti Umayyah, di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan, mengadakan pengepungan terhadap Konstantinopel. Pengepungan ini gagal, bahkan menewaskan sahabat Rasululllah yang bernama Ebu Eyup El-Ansari. Jasad Ebu Eyup nantinya ditemukan di luar benteng kota oleh Sultan Mehmed II ketika mengepung Konstantinopel pada 1453. Untuk mengenang jasa Ebu Eyup, Sultan Mehmed II membangun masjid dan makam di distrik yang sekarang dinamakan distrik Eyup.

Kota Istanbul kemudian mengalami islamisasi ketika Sultan Mehmed II berhasil menaklukannya pada 1453. Setelah itu Imperium Usmani terus menerus membangun Istanbul dengan tata kota khas peradaban Islam dengan adanya masjid, madrasah, perpustakaan, dan lain-lain. Hingga hari ini, citra peradaban Islam sangat lekat dengan kota Istanbul. (AN)