Agaknya ada yang salah kaprah dalam masyarakat saat memaknai mahar pernikahan. Umumnya, harga mahar tidak jauh lebih mahal ketimbang persewaan terop, sound system, atau perak-pernik pernikahan yang lain. Sementara kuantitas sekaligus kaulitas mahar jarang sekali diperhatikan. Padahal jika menganut fikih dominan di Indoesia (fikih Syafi’i) atau merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) mahar adalah kewajiban yang harus dibayarkan oleh suami.

Ala kadarnya mahar yang sering penulis temui menunjukkan bahwa mahar masih dipahami dalam ranah konsumtif, bukan produktif. Beberapa contoh nyata terlihat mengamini ide konsumtif mahar, seperti mahar dengan seperangkat alat shalat –yang ini seringkali dipertontokan di sinteron-sinetron tanah air-, atau hanya berupa sandal yang pernah viral di media sosial-meskipun salah satu mazhab membolehkannya. Ini adalah bukti bahwa masih banyak yang belum memahami fungsi dan esensi mahar.

Dalam sejarahnya, mahar perkawinan pada masa Jahiliyah tidak bisa dimiliki sepenuhnya oleh perempuan. Pihak wali lah yang mengambil alih hak itu. Bahkan perempuan juga bisa menjadi komoditi mahar. Hal ini terjadi karena mahar hanya dianggap sebagai alat transaksi perkawinan untuk mendapatkan wanita, bukan untuk memuliakan perempuan. (Baca juga: Quraish Shihab: Mahar itu Hak Istri tapi Bukan Harga Seorang Wanita)

Lalu ketika Islam datang, peruntukan, komoditas, dan esensi mahar diubah. Islam lalu menetapkan hak mahar sepenuhnya kepada wanita. Komoditasnya pun juga dibatasi, yaitu sesuatu yang memiliki nilai manfaat. Esensinya pun juga ditranformasikan ke bentuk upaya penghormatan dan pemuliaan terhadap perempuan.

Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mahar adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia kehidupan rumah tangga di depan publik. Mahar juga merupakan bentuk bukti kemampuan seorang laki-laki menafkahi wanita secara lahir dan batin.

Dalam fikih, justru perdebatan komoditas mahar lah yang cukup menarik, baik mengenai kualitas maupun kuantitas mahar. Secara umum ulama’ menetapkan bahwa mahar harus dapat dimiliki dan diperjualbelikan, maka barang yang haram tidak boleh. Mahar juga harus jelas, baik berupa barang atau jasa. Mahar juga harus terbebas dari bentuk penipuan apapun.

Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa mahar adalah sesuatu yang memiliki nilai manfaat, baik berupa jasa atau benda, sedikit atau banyak. Sementara Malikiyyah berpandangan bahwa mahar hanya lah berupa benda yang indrawi dan memiliki nilai manfaat. Sedangkan jasa tidak dapat dijadikan mahar. Dari sini ada indikasi bahwa mahar itu bersifat produktif.

Jika melacak lebih jauh, beberapa hadis nabi mengisyaratkan produktifitas mahar. Sebagaimana diriwayatkan Abu Salamah dalam sunan Ibnu Majah, mahar Nabi menikahi istri-istrinya sebesar 500 dirham. Jika dirupiahkan sekira 50-an juta lebih. Dalam Shahih Bukhari, Ibnu Abbas menuturkan bahwa sahabat Tsabit bin Qais menikahi istrinya dengan mahar sebuah kebun.

Ada juga riwayat yang ditemukan dalam Sunan Abu Dawud yang menunjukkan, sebagaimana dikisahkan oleh Uqbah bin Amir, mahar salah satu sahabat senilai 100 dirham. Hitungan ini diperoleh dari hasil penjualan mahar sebidang tanah dari Uqbah. Kalau dirupiahkan setara dengan 414-an juta. (Baca juga: Bukan Emas, Ini Mahar Pernikahan Adam dan Hawa.)

Dengan demikian, maka komoditas mahar yang dinarasikan dalam hadis, baik dalam bentuk uang atau tanah merepresentasikan nilai produktifitas mahar. Mengapa? Jumlah uang yang besar akan membantu perempuan untuk bisa berkarir dan berdaya mandiri tanpa mengandalkan penghasilan suami. Tanah yang luas juga akan mampu menghasilkan nilai tambah perekonomian ketika dikelola dengan baik.

Lalu, bagaimana dengan riwayat yang membolehkan mahar hanya dengan cincin dari besi. Mengenai ini, Ibnu ‘Arabi -Ulama’ Malikiyyah, berpendapat bahwa perintah untuk mencari cincin saat itu adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan. Namun ternyata tidak ada satupun benda yang ditemukan termasuk cincin. Maka, dapat dipahami bahwa kadar minimal mahar dalam hal ini karena adanya ketidaksanggupan memenuhi standar mahar yang dianjurkan saat itu sehingga kebolehan mahar dengan jasa pengajaran Al-Qur’an-bisa dipahami- hanya dalam keadaan tertentu.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) justru menegaskan kesederhanaan mahar karena itulah yang menurutnya dianjurkan oleh Islam. Kenyataan ini sebenarnya memicu banyaknya praktik mahar konsumtif. Ini memang tidak salah. Namun, ini hanya kurang etis untuk memuliakan seorang perempuan. Apalagi untuk menjamin kehidupannya. Padahal Islam tidak benar-benar menegaskan kesederhanaan mahar. Yang justru ditegaskan adalah kemanfaatan dan produktifitasnya.

Ketika seorang perempuan mendapatkan mahar produktif, mahar yang mutlak menjadi haknya bisa membantu untuk pemenuhan pendidikan bagi anak-anak, devisa rumah tangga, serta ekonomi masa depan rumah tangga, jika ia mau ikut berkontribusi dalam hal finansial. Sehingga, perempuan bisa mendapatkan kontrol yang lebih banyak terhadap kondisi dan keadaan hidupnya untuk bisa lebih membantu pemberdayaan keluarga dan perekonomiannya.

Mahar produktif dapat dirupakan dengan wujud apapun yang bisa menghasilkan nilai tambah dan menghasilkan keuntungan ketika dimiliki oleh istri. Bukan hanya sekedar pamer kemewahan, tetapi juga demi asset bersifat statis; tidak bergerak dan tidak menghasilkan apapun. Baik benda dan jasa bisa digunakan sebagai mahar produktif.

Beberapa contoh mahar produktif yang berupa benda misalnya emas, saham, hotel, rumah atau vila yan disewakan. Sedangkan untuk contoh mahar berupa jasa misalnya mengajari istri untuk berwirausaha, mengelola perusahaan, atau jenis mahar yang lain. Ini hanya beberapa contoh saja. Langkah ini setidaknya akan mampu meningkatkan perekominan keluarga secara lebih kreatif dan mandiri.

Gerakan mahar produktif agaknya perlu disosialisasikan. Tujuannya, agar setiap lelaki yang hendak menikah bisa mempersiapkan jauh-jauh hari untuk meminang perempuan pilihannya. Apakah pantas jika mahar hanya sekedar konsumtif sedangkan perempuan itu akan dimiliki seumur hidup? Ini setidaknya yang dapat direnungkan. (AN)

Wallahu A’lam.