Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi

Jangan boleh ia nanti jadi profesor atau guru

Itu celaka, uangnya tak ada.

Penggalan puisi WS Rendra berjudul Pesan Pencopet kepada Pacarnya di atas adalah satire yang ditujukan untuk para pejabat orde baru. Puisi tersebut sekaligus menyasar mayarakat yang pada umumnya terlanjur mengambil para pejabat korup sebagai teladan.

Hal ini juga yang dikeluhkan KH. Mustofa Bisri, atau Gus Mus, perihal mental bangsa kita. Beliau katakan bahwa metode dakwah yang paling efektif adalah ala Kanjeng Nabi Muhammad SAW, dengan suri tauladan. Celakanya, kata beliau, yang mencontoh dakwah Nabi SAW di negeri kita adalah Pak Harto.

“Pak Harto itu mengajak kita, dakwah kepada kita supaya kaya, dicontohkan beliau. Tiga puluh dua tahun. Bayangkan! Orang ini jadi ingin kaya semua, tinggal mengaku atau tidak. Semua orang Indonesia ingin kaya. Itu di bokongnya truk itu, ada gambarnya, pak Harto tersenyum. Ada tulisannya, piye le enak zamanku to? Saya jawab, ya tentu saja Mbah. Enak zaman sampeyan. Dulu Soehartonya Cuma sampeyan tok (sendiri). Sekarang hampir semua orang Soeharto semua,” kelakar Gus Mus dalam satu wawancara di Mata Najwa.

“Duit memang bukan segalanya tapi segalanya butuh duit.” Selarik adigium yang bisa jadi banyak yang tidak akan membantah.

Setelah adigium tersebut mengkristal, ia mulai menjungkirkan norma. “Kita mati tidak membawa uang. Betul, tapi tidak sedikit orang yang terasa mati ketika tidak punya uang.”

Persepsi seperti itu perlu satu premis lagi agar orang tidak salah logika masalah uang. Bahwa banyak sungai tercemar, hutan digundul, sawah diuruk, sampai hak rakyat dikorup, juga karena uang.

Tambahan premis itu dapat melengkapi logika kita bahwa uang adalah alat yang bisa jadi baik dan bisa juga buruk, tergantung siapa yang memegangnya. Namun, jika premis terakhir ini dibuang maka kesimpulan logis yang muncul adalah uang sebagai orientasi, tujuan hidup. Memupuk keyakinan bahwa tujuan dari bekerja adalah untuk mendapatkan uang termasuk dari logical fallacy. Biasanya cacat logika ini diembel-embeli bahwa dengan uang kehidupan dapat tercukupi atau bahkan uang ini dapat digunakan beribadah.

Jika ada yang menganggap cacat logika di atas adalah suatu yang normal, maka jelaslah bahwa ia adalah lulusan akademi dakwah Mbah Soeharto.

Menegasikan uang sebagai orientasi ini penting karena uang termasuk bagian dari dunia, bukanlah alasan untuk dituju dalam perjalan hidup manusia di muka bumi. Imam al-Ghazali dalam Ihya memberi permisalan seorang hamba yang hidup di dunia lantas lupa akan orientasi dan tujuannya.

“Seperti seorang yang pergi untuk berhaji kemudian ia berhenti di pinggir jalan. Di situ ia tiada henti memberi makan untanya, merawat, membersihkan, memberi pakaian yang beraneka ragam. Beragam rerumputan ia suguhkan, air terdingin ia cari untuk diminumkan. Hingga ia terpisah dari kafilah, lupa akan haji dan berlalunya rombongan. Berdiamnya ia di padang pasir menjadikan diri serta untanya santapan binatang buas.”

“Sementara haji yang punya pandangan,” lanjut al-Ghazali, “tidak terlalu memikirkan perihal unta kecuali sekedarnya agar ia kuat untuk berjalan. Ia lebih menyiapkan hatinya untuk Ka’bah dan haji itu sendiri. Ia menengok unta sekedar karena darurat. Demikianlah orang yang memiliki pandangan dalam perjalanan menuju akhirat.”

Masih dalam konteks orang yang memiliki pandangan, Imam al-Ghazali dalam Minhaj al-Abidin memberi permisalan, begini:

Seorang sedang membuat puding lezat dengan berbagai resepnya. Ketika ia menyisipkan racun mematikan di dalamnya ada seorang yang melihatnya dan ada orang lain lagi yang tidak melihat. Ketika puding tersebut dihidangkan kepada keduanya maka orang yang melihat hakikat puding tadi zuhud terhadapnya… Sementara yang tidak melihat, karena hanya tampak baginya tampilan luar yang menggiurkan maka ia pun memakannya dengan lahap. Sekaligus ia heran kepada kawannya yang zuhud, mengira kawannya itu bodoh.

Ringkasnya, zuhud bukan berarti tidak bekerja. Banyak orang menyalah-artikan zuhud sebagai alibi untuk bermalas-malasan. Padahal, bukan seperti itu. Bahwa sebelum zuhud ada yang namanya proses pencarian jati diri. Proses ini yang hilang dari kurikulum pendidikan kita. Seakan pendidikan disiapkan untuk dunia industri agar siap jadi pegawai, jadi karyawan.

Ketika seorang telah menemukan jati dirinya, tempatnya untuk berjalan, maka disitulah ia berkarya sesuai karsanya. Jika ia malas berkarya, berarti ia sedang menyimpang dari jalannya.

Tidak ada alasan seorang zuhud untuk bermalas-malasan. Jadi, takut kehilangan kesempatan mendapatkan uang atau kesempatan mengenali diri agar selamat dunia akhirat? Ini negara demokratis, sila memilih.