Menilik cuitan-cuitan dunia maya sampai obrolan-obrolan di kantor, kampung, dan juga misalnya perdebatan grup WA keluarga, ada setidaknya dua kelompok yang berbeda-meskipun tak berarti saling bersebrangan- dalam menanggapi peristiwa naiknya Pak Sandiaga Uno jadi pembantunya Pak Jokowi.

Segolongan kelompok menampilkan kekecewaan total, nggugupi, tidak terima, dan bahkan marah-marah atas kejadian itu. Sedang kelompok lain, bukan yang bersikap sebaliknya dengan membela Pak Sandi, melainkan justru memilih ‘no comment’ alias tak peduli sama sekali atas kejadian itu.

Pada mereka yang kecewa, tentu saja kita bisa ber-huznuzon bahwa sikap-sikap itu adalah cerminan dari harapan terwujudnya negara adil makmur yang patah atau malah mungkin ambyar. Saudara-saudara kita yang dalam pikiran dan kesadarannya tegas mengambil posisi dan sikap sempurna sebagai oposisi demi sehatnya sistem demokrasi, tentu saja layak kecewa karena tokoh mereka bolak-balik menunjukkan sikap sebaliknya.

Tahun lalu calon presiden yang mereka gadang-gadang justru di akhir cerita malah mbebek kepada lawan politiknya, kini pasangannya pun mengambil pilihan politik yang sama. Ini kan kenyataan yang sungguh menyakitkan bagi mereka yang telah berkorban macam-macam demi sebuah ideologi politik!

“Kau sayat luka baru diatas duka lama, coba bayangkan betapa sakitnya~..”, begitu kalau meminjam bait lagu Pak Ebiet G. Ade yang tampaknya cocok sekali menggambarkan perasaan saudara-saudara kita itu.

Kendati demikian, fenomena kekecewaan dan kemarahan itu bisa juga kita telaah dari sudut dan arah lain, bahwa barangkali hidup bagi mereka haruslah linier, biner, dan dikotomis. Hidup adalah soal kebenaran versus kebatilan, jahat versus baik, atau hitam versus putih.

Padahal hidup penuh warna, dialektika, dan dinamika sehingga tak bisa diterka-terka dan diatur-atur sebagaimana cerita Avengers versus Thanos.

Hidup ini kan nyata Lur! Nyata senyata-nyatanya! Apalagi ini di Indonesia. Tony Stark sekalipun, kalau dia hidup dalam atmosfer politik negara ini, jangan-jangan akan berpihak juga pada Thanos, meskipun secara dzohir dia tetap gelut melawan Thanos bersama pada hero Avengers lainnya.

Jadi, saran saya kepada saudara-saudara kita yang sedang muntap hatinya dan mendidih kepalanya merasakan kejadian reshuffle kemarin: tenangno pikirmu, Lur.. Kan antum semua mestinya yakin, bahwa dunia ini sekadar permainan belaka. Ya ndak?

Dengan kesadaran seperti itu, Anda akan jauh lebih tenteram melihat ontran-ontran kehidupan politik negara ini. Ingat ya, ini baru Pak Prabowo, lalu Pak Sandi yang ikut menyokong rezim. Jangan sampai nanti, jika tiba-tiba harus terjadi, misalnya ya (misalnya lho ini!) Habib Rizieq ditawari juga jadi menterinya Pak Jokowi dan bersedia, lantas Anda jadi gila.

Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Anda jika hal itu benar-benar kejadian. Sungguh saya tidak mau kekecewaan yang lebih kronis menghancurkan diri dan hidup Anda.

Sebab konstelasi bernegara di Indonesia benar-benar ada dalam wilayah runyam, mbulet, pengap, sumpek, dan remang-remang, bahkan cenderung gelap. Menentukan sikap dalam keadaan seperti itu tentu saja tak gampang, kalau tidak mau dibilang mustahil.

Anda bisa merasa sedang membersamai  Abu Bakar yang menyelamatkan Bilal dari siksaan Umayah, tapi rupanya setelah beberapa waktu bersama, muncul juga perangai aslinya bahwa ia rupanya adalah Umayah yang lain.

Bahkan, dalam kondisi-kondisi yang lebih kacau lagi, setelah repot-repot membela Bilal atau kaum-kaum terzolimi, mungkin Anda juga harus siap untuk di-Bilal-kan oleh mereka yang telah Anda bela tadi. Dunia kita hari ini tidak mengenal Abu Bakar, Umayah, dan Bilal dalam posisi dan perannya yang paten, melainkan sewaktu-waktu berubah menyesuaikan konteks dan kebutuhan.

Syukurnya, dari sana, setidaknya kita jadi mengerti bahwa keberpihakan harus ditancapkan tidak pada manusia, lembaga, atau bahkan sekadar simbol-simbol. Ia berdiri diatas prinsip-prinsip, nilai-nilai, atau mungkin pada pandangan ‘abstrak’ mengenai, umpamanya, barokah dan tidaknya hidup.

Oleh karena itulah, saya tidak pernah memandang rendah golongan kedua yang tak peduli pada reshuffle kabinet atau apa pun ontran-ontran politik di Indonesia. Misalnya saja, taruhlah contoh Pilkada barusan di beberapa daerah yang meskipun mendapatkan pemenang pemilu, namun sejatinya benar-benar dimenangkan oleh golput.

Fakta golput yang semakin kesini semakin populer, hingga diamnya banyak kalangan atas reshuffle, saya rasa bukanlah sikap ketidakpedulian, melainkan lebih pada sesuatu yang lebih menyakitkan, yakni: keputusasaan.

Bukan soal ada tidaknya imbas keikutsertaan pada pemilu yang telah diketahui hasilnya, atau peduli tak pedulinya pada keberjalanan pemerintahan yang sehat, namun lebih dari itu, ini adalah soal prinsip-prinsip, nilai-nilai, pedoman-pedoman hidup yang tidak benar-benar terwadahi oleh apa yang dinamai Indonesia ini.