Pemilihan ketua OSIS SMAN 6 Depok mendapat sorotan publik karena tersandung isu identitas. Ketua OSIS terpilih, Evan Clementine, merasa tidak terima karena pada satu sisi ia telah memenangkan pemilu. Namun di lain sisi, panitia penyelenggara pemilu, Wati, menghendaki agar pemilu diulang.

Wati menuturkan bahwa, pengulangan pemilu bukan disebabkan oleh agama Evan, tapi disebabkan karena masih banyak siswa yang belum tersalurkan hak pilihnya akibat aplikasi pemilu daring yang digunakan tidak berjalan optimal karena pihak panitia pemilu belum melakukan gladi-resik.

Menurut Wati, ada sekitar 250 orang yang belum tersalurkan hak pilihnya akibat kesalahan sistem. Sementara itu, dalam tangkapan layar yang diunggah Evan, menunjukkan bahwa ada 1019 suara masuk dari total 1095. Evan percaya bahwa mengulang pemilu adalah modus penjegalan agar tidak membiarkan non-muslim seperti dirinya menjadi pemimpin.

Evan menduga demikian karena ia mendapat tangkapan layar percakapan beberapa pihak yang punya sentimen agama terhadapnya. Evan mengonfirmasi perihal tersebut kepada Wakil Kepala Sekolah. Namun wakasek membantah hal tersebut.

Wati menepis adanya sentimen agama di balik pemilihan ketua OSIS, “screenshot itu terkait dengan guru agama. Itu potongan Whatsapp pribadi di antara guru agama dengan siswa, antara anak dengan anak, tetapi tidak membicarakan pemilu. Jadi mebicarakan sudut pandang mereka sendiri di Whatsapp lalu mencatut nama guru agama.”

Wati melanjutkan, “konteksnya bukan pemilu, tetapi diskusi masalah memilih pemimpin dari sudut pandang mata pelajaran agama Islam, dan itu dipotong. Kita sudah klarifikasi ke guru agamanya dan anak yang Whatsapp itu juga sudah kita minta klarifikasinya.”

Wati kemudian melakukan rapat istimewa bersama Kepala Sekolah. Ketika pihak sekolah dimintai klarifikasi oleh media, Kepala Sekolah menuturkan bahwa pengulangan pemilihan ketua OSIS ini murni akibat ketidak-optimalan aplikasi, bukan karena identitas Evan yang non-muslim. Pihak sekolah juga kemudian memanggil 3 kandidat ketua OSIS untuk mendiskusikan soal pengulangan ini, 2 dari mereka melanjutkan pemilihan ulang, sementara Evan memilih mundur.

Di Instagram, Evan menulis, “Evan minta maaf kalau evan harus mengambil keputusan dengan berlapang dada dan ikhlas bahwa Evan harus mundur dari Pemilihan Calon Ketua OSIS SMA Negeri 6 Depok Periode 2020-2021, karena terdapat prinsip-prinsip yang tidak sesuai untuk melakukan pemilihan ulang. Evan juga minta maaf karena tidak bisa mewujudkan Harapan dari teman-teman yang sudah mendukung, biarlah ini menjadi pelajaran agar lebih baik kedepannya dan bagi teman-teman yang masih bertahan Selamat Berjuang.”

Ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan dari cerita di atas. Mengapa jika murni kesalahan sistem aplikasi, panitia penyelenggara dan pihak sekolah tidak berhasil meyakinkan Evan untuk mengikuti pengulangan pemilu? Mengapa pihak panitia penyelenggara dan pihak sekolah banyak sekali memberikan klarifikasi teknis detail, sedangkan Evan hanya memberikan beberapa pernyataan umum? Apakah jika Evan benar maka sekolah akan mendapat kerugian yang sepadan dengan kerugian yang diterima Evan jika sekolah benar? Pertanyaan yang terakhir menyiratkan bahwa ada relasi kuasa yang timpang antara Evan dan pihak sekolah.

Di teori spiral of silence-nya Elizabeth Noelle-Neumann, orang akan cenderung sedikit bersuara (atau bahkan diam sama sekali) saat ia menyadari bahwa jejaring sosial yang membentuk lingkungan komunikasinya cenderung punya pendapat yang bersebrangan dengan dirinya. Evan sepertinya mengalami hal itu. Namun kita belum tau jejaring sosial seperti apa yang ada di SMAN 6 Depok. Penulis menduga adanya jaringan Islamisme di SMAN 6 Depok. Ada beberapa indikasi yang penulis temukan:

Pertama, dalam kasus SMAN 04 dan SMAN 06 Cirebon di tahun 2013, Didin Nurul Rosidin dalam tulisannya yang berjudul Muslim Fundamentalism in Educational Institution, yang dimuat dalam bunga rampai Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations(2013), mengungkapkan salafisme masuk ke sekolah melalui Rohis dan Ikatan Remaja Masjid (IRM).

Infiltrasinya masuk lewat guru sekolah, pembimbing organisasi, ataupun alumni yang berafiliasi dengan salafisme. Rosidin juga mencatat bahwa, religiusitas yang tumbuh di dalam tubuh Rohis/IRM sering kali menegosiasi kegiatan reguler sekolah seperti renang, kegiatan belajar mengajar, ataupun acara tertentu yang dianggap bergesekan dengan nilai-nilai Islami yang dijunjung Rohis/IRM.

Berkaca dari kasus SMAN 04 dan SMAN 06 Cirebon, penulis kemudian menelusuri jejaring sosial Rohis SMAN 6 Depok dan menemukan adanya afiliasi dengan beberapa ustadz selebritis dan gerakan hijrah Shift yang genetiknya kental salafisme.

Kedua, kata ‘religius’ menjadi kata terdepan dalam tagline SMAN 6 Depok. Ketiga, Evan yang notabenenya calon ketua OSIS yang berasal dari non-Islam, menempatkan ‘religiusitas dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa’ pada poin pertama prokernya. Apakah prioritas ini murni insiatif Evan atau pesanan pihak tertentu adalah hal yang perlu ditelusuri lebih jauh. Keempat, cara Wati dalam merespon isu tangkapan layar yang diungkap Evan bertendensi pada teknik gas-lighting.

Sejauh apa gurita Islamisme di SMAN 6 Depok, penulis belum dapat menilai. Namun yang pasti, ada islamisme di SMAN 6 Depok. Keluhan Evan soal tangkapan layar yang memuat beberapa pihak yang punya sentimen agama terhadap dirinya, turut memperkuat dugaan adanya gurita Islamisme di tubuh SMAN 6 Depok.

Kalau dugaan itu dapat dilengkapi dengan bukti empirik hasil telaah lapangan, maka sedikit bicaranya Evan adalah indikasi bahwa Evan benar-benar menyadari lingkungan komunikasi seperti apa yang ada di SMAN 6 Depok. Dalam spiral of silence, sebelum Evan yakin untuk bersuara, Evan perlu mempertimbangkan waktu (timing), jejaring sosial dan budaya/ideologi yang membangun lingkungan komunikasinya.

Setelah itu, Evan perlu memprediksi beberapa hal: nanti publik akan menganggapku seperti apa?, mungkinkah mereka akan memahami apa yang aku katakan?, mungkinkah aku akan tidak diladeni bila aku berbicara?

Lingkungan komunikasi SMAN 6 Depok meredam suara Evan dengan memberikan banyak klarifikasi teknis detail, namun tidak menyinggung soal ‘prinsip-prinsip yang tidak sesuai untuk melakukan pemilihan ulang’ yang diklaim oleh Evan. Bahkan, Evan pun cenderung tidak bersuara banyak soal hal ini.

Sekecil apapun skalanya, momen elektoral adalah momen yang tidak pernah tidak politis. Politik selalu punya wajah depan dan belakang panggung. Saat Wati mengatakan, “konteksnya bukan pemilu, tetapi diskusi masalah memilih pemimpin dari sudut pandang mata pelajaran agama Islam, dan itu dipotong. Kita sudah klarifikasi ke guru agamanya dan anak yang Whatsapp itu juga sudah kita minta klarifikasinya,”  maka Wati telah melakukan dua hal dalam sekali dayung:

Pertama, Wati telah mempertegas kuasa institusional atas otonomi Evan dalam persaingan klaim kebenaran dengan teknik gas-lighting, atau meragukan kredibilitas tangkapan layar yang ditunjukkan Evan. Kedua, Wati telah menunjukkan kepada publik mana wilayah ‘depan panggung’ yang memuat perkara teknis yang perlu dipahami publik, dan mana wilayah ‘belakang panggung’ yang memuat jejaring aktor yang tidak perlu diketahui publik.

Yang jelas, bila kebenaran berpihak pada Evan, maka akan ada konsekuensi moral yang tidak ringan yang ditanggung pihak sekolah. Bila kebenaran berpihak pada sekolah, Evan harusnya mendapat alasan untuk mengikuti pemilihan ulang.

Bila Evan melakukan pelintiran kebenaran, maka motif politik atau dendam kesumat apa yang mungkin dimiliki oleh anak kelas XI SMA terhadap institusinya sendiri? Sedikit bicaranya Evan adalah indikasi kesadaran Evan, bahwa kalaupun ia mengutarakan kebenaran, kebenaran itu tidak akan dapat berkutik di depan otoritas insitusi yang lebih tinggi.

Meskipun dalam tulisannya Didin Nurul Rosidin juga menyebutkan, sering terjadi di kota-kota besar bahwa islamisme telah menjangkau setiap jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA). Yang jelas, kalau memang kelak terbukti ada jejaring Islamisme dibalik pemilihan OSIS SMAN 6 Depok, maka ini menjadi alarm bahwa intervensi Islamisme yang bernada ‘tirani mayoritas’ telah mencapai level baru.