Kehadiran media sosial (disingkat medsos) tampak menyuburkan semangat keagamaan umat Islam khususnya dikalangan millenial. Semangat keagamaan itu lebih akrab dengan istilah hijrah. Tak sedikit orang yang mengubah gaya hidupnya, dari gaya berpakaian seksi dan terbuka kini muncul di medsos memutuskan berjilbab dan menyatakan ia berhijrah. Ada pula orang yang mengubah pandangan hidupnya, meninggalkan karier yang membesarkan namanya dengan alasan ingin berhijrah.

Mengapa gerakan hijrah di kalangan anak muda belakangan begitu marak? salah satunya disebabkan dakwah keagamaan yang juga kian marak di medsos. Berbagai konten ceramah, atau hanya sekedar “meme” yang bisa mengajak dan mempengaruhi pandangan keislaman seseorang. Sebab, medsos tak ubahnya pasar, di dalamnya dijajakan berbagai aneka ragam dagangan.  Orang yang datang ke pasar, ia akan memilih dan berbelanja sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Medsos pun demikian, berbagai informasi khususnya dakwah keagamaan kini “membanjiri” pasar dakwah, tentu ia akan memilih dan mendengarkan seorang ustadz yang dianggap memberi solusi atau jawaban terhadap masalah hidupnya.  Di sisi lain,  ketergantungan pada medsos begitu besar. Hampir tak kurang dari 4 jam dalam sehari semalam jari-jemari, mata menunduk dan pikiran kita di medsos. Bahkan ada anekdot “kalau perokok bangun dari tidurnya yang ia cari pertama kali adalah rokok, tapi kini berubah bukan lagi rokok melainkan handphone-nya”.

Ketergantung itu, telah mengubah perilaku dan sikap beragama umat Islam di Indonesia, Prof. Martin Slama, peneliti dari University of Vienna, mengatakan bahwa kehadiran medsos telah mengubah wajah perilaku keagamaan di Indonesia disebabkan ketergantungan umat Islam pada medsos. Tak hanya itu, unggahan-ungahan kesalehan dianggap cara untuk meningkatkan sikap beragama seseorang (religiusitas).

Misalnya, kita sering melihat postingan-postingan dengan simbol-simbol keislaman pakai gamis, celana cinkrang, balutan jilbab yang dianggap jilbab syar’i, lalu disertai caption keagamaan. Postingan semacam ini kerap menjadi ukuran seseorang sudah menjadi lebih baik, bahkan ragam komentar baik dari netizen.

Lalu, mengapa ketergantungan pada medsos menjadi salah satu faktor tumbuhnya budaya hijrah di kalangan millenial? Secara sederhana, dalam teori depensi media jika seseorang memiliki ketergantungan pada media (medsos khususnya), kepercayaannya akan meningkat jika masalah atau persoalan hidupnya yang tak terjawab di dunia nyata mampu terjawab di medsos. Pada akhirnya, akan mengubah pandangan dan perilaku kesehariannya.

Karena itu, fenomena hijrah adalah jawaban hidup bagi seseorang atas masalah keagamaan dalam hidupnya, ceramah keagamaan di medsos mampu menjawab kegundahan atau gejolak batinnya, yang selama ini tak terjawab atas apa yang didengar di majelis taklim atau pengajian. Maka, tak heran, apa yang ia dengar, simak atau baca di medsos memantapkan hatinya untuk berhijrah.

Menariknya, mengapa komunitas hijrah lebih dekat dengan ustadz yang (mohon maaf) selama ini nafas dakwahnya menolak tradisi, tak kompromi dengan pembaharuan Islam? Tak lain, beragama secara praktis dan instan turut menjadi faktor. Kalangan hijrah kurang tertarik bicara tolerasi agama, kajian sosial keagamaan dan semacamnya. Sebab itu, mereka akan lebih tertarik mendengar kajian seputar sunnah Nabi, isu jilbab, fikih praktis dan semacamnya.

Dampak dari itu, kecenderungan semangat hijrahnya lebih mengedepankan persoalan simbol (aksesoris, pakaian, atribut dan lain lain) ketimbang memahami Islam pada aspek moral atau subtansi (buah utama atau prinsipnya).  Akibatnya, semangat hijrahnya terkadang membenturkan antara agama dengan nilai tradisi, budaya dan kebangsaan. Muncullah anggapan, tahlilan, ziarah kubur, maulidan bahkan Pancasila dianggap tak sejalan dengan agama.

Terakhir, berhijrah itu sangat baik, hanya saja semangat hijrah harus dibarengi dengan semangat membaca, belajar agama yang sistematis,  yang paling penting hijrah itu mesti malahirkan akhlak dan kecintaan pada tanah air.