إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِي فَأَخْبِرْ النَّاسَ أَنَّهُ
مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا بَرِيءٌ مِنْهُ

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Ruwaifi’, boleh jadi engkau akan berumur panjang maka umumkanlah kepada manusia bahwa barang siapa yang mengikat jenggotnya atau memasang jimat dari bekas tali busur atau beristinja’ dengan kotoran hewan ataupun tulang maka sesungguhnya Muhammad itu berlepas diri darinya” (HR Nasai no 5067, Abu Daud no 36 dll, dinilai shahih oleh al Albani).

Dalam hadits ini terdapat larangan ‘aqd lihyah (mengikat/memilin jenggot). Berikut ini penjelasan para ulama seputar hal ini.

Syeikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan masalah ini dengan mengutip komentar al Khithabi, “Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan ‘aqd lihyah dijelaskan dengan dua versi penjelasan.

Pertama , adalah prilaku banyak orang ketika perang. Mereka mengikat jenggot mereka. Inilah penampilan sebagian orang ‘ajam (non arab yang kafir). Mereka memilin jenggot lalu mengikatnya. Menurut keterangan Abu al Sa’adat, hal ini dilakukan sebagai bentuk ujub dan kesombongan.

Kedua, yang dimaksudkan adalah mengobati jenggot sehingga menjadi keriting. Ini merupakan prilaku orang-orang banci.

Sedangkan Abu Zur’ah Ibnu al ‘Iraqi menegaskan bahwa yang paling tepat adalah memaknainya dengan mengikat jenggot ketika shalat sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat Muhammad bin al Rabi’. Dalam riwayat tersebut dinyatakan, ‘Siapa yang mengikat jenggotnya ketika shalat’ (Fathul Majid hal 157, cet Dar al Fikr).

Pendapat Abu Zur’ah Ibnul Iraqi ini dikomentari oleh penulis Taisir al Aziz al Hamid, “Pendapat tersebut sesuai dengan hadits shahih yang melarang untuk menahan rambut dan kain karena mengikat jenggot itu lebih dari sekedar menahan rambut” (Taisir al Aziz al Hamid hal 141, Maktabah Syamilah).

Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata,

“Adalah kebiasaan orang Arab tidak memangkas jenggot, tidak pula mencukur habis jenggot sebagaimana sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun mereka memiliki kebiasaan mengikat jenggot karena beberapa faktor.

Pertama, sebagai bentuk membanggakan dan mengagungkan diri sendiri. Ada yang mengikat ujung jenggot atau membuat satu ikatan di tengah jenggot untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang tokoh besar dan pemimpin kaumnya.

Kedua, karena takut ‘ain (sakit karena pandangan mata orang yang hasad). Jika jenggot itu anggun dan indah lalu diikat maka akan menjadi jelek.
Siapa yang melakukan itu semua maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya” (al Qul al Mufid 1/185, cet Dar al ‘Ashimah).

Syeikh Shalih bin Fauzan al Fauzan mengatakan,

“Ulama bersilang pendapat tentang pengertian ‘aqd lihyah

Pertama‘aqd lihyah adalah kebiasaan orang-orang Persia. Ketika kondisi perang mereka mengikat jenggot mereka sebagai ungkapan keangkuhan dan kesombongan. Sedangkan kita dilarang untuk menyerupai orang-orang kafir.

Kedua yang dimaksudkan adalah mengikat jenggot ketika shalat karena hal ini termasuk bermain-main dan banyak gerak ketika shalat. Hal ini hukumnya makruh karena sikap ini menunjukkan tidak adanya kekusyuan.

Ketiga, yang dimaksudkan adalah perbuatan orang-orang yang hidup mewah yang mengkritingkan dan memperindah jenggot. Ini semua mereka maksudkan sebagai bentuk memperindah penampilan fisik. Jadi ini termasuk bermewah-mewah yang terlarang. Memang tidak mengapa membersihkan, merawat dan memperhatikan kerapian jenggot namun tidak boleh sampai derajat pemborosan” (I’anah al Mustafid 1/140, cet Ulin Nuha Kairo).

Demikianlah beberapa penjelasan ulama tentang larangan mengikat jenggot. Ringkasnya mengikat atau memilin jenggot dengan berbagai motifnya adalah suatu yang dilarang keras oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau berlepas diri dari pelakunya.