Kira-kira dua pekan terakhir kemarin, terdapat dua peristiwa penting sehubungan dengan yang lucu-lucu. Anda boleh sebut itu sebagai humor, kelakar, satire, kelakar yang mengandung satire, atau apalah itu namanya. Yang jelas, hal-hal yang lucu itu pastilah meniscayakan sebuah objek untuk ditertawakan.

Objek kelucuan yang pertama adalah keganjilan putusan jaksa berkenaan dengan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Kebetulan yang membawakan parodi itu adalah seorang komedian bernama Bintang Emon lewat sebuah konten di Instagram TV pada Jumat, 12 Juni 2020.

Bagi saya, logika yang dilontarkan Bintang adalah kocak. Bahkan, kocaknya kelewat kaffah. Begini kira-kira verbatimnya:

Katanya enggak sengaja, tapi kok bisa terkena muka? Kita tinggal di bumi, gravitasi pasti ke bawah. Menyiram badan enggak mungkin meleset ke muka kecuali Pak Novel Baswedan memang jalannya handstand bisa lu protes, ‘Pak hakim saya niatnya nyiram badan cuma gara-gara dia jalannya bertingkah jadi kena muka’ bisa, masuk akal. Sekarang kita cek yang enggak normal cara jalannya Pak Novel Baswedan atau tuntutan buat kasusnya.

Lalu,

Katanya cuma buat kasih pelajaran, lu kalau mau kasih pelajaran, Pak Novel Baswedan jalan lu pepet, lu bisikin, ‘Eh tahu gak kita punya grup yang enggak ada lu-nya loh’ pergi, nah pasti insecure ‘Ih salah gue apa ya?’, introspeksi Pak Novel, pelajaran jatuhnya. Air keras dari namanya udah keras, kekerasan gak mungkin keairan.

Dan,

Katanya enggak sengaja, tapi niat bangun subuh. Asal lu tahu subuh itu waktu salat yang godaan setannya paling kuat, banyak yang enggak bangun subuh. Gue, temen-temen gue, banyak yang kelewat. Tapi ini ada yang bangun subuh bukan buat salat subuh, tapi buat nyiram air keras ke orang yang baru pulang salat subuh.”

Ternyata, logika sederhana itu kelewat paripurna dalam menghentak kesadaran semua kita. Dan, segera setelah itu Bintang pun mendapat tuduhan yang membuat dirinya semakin menjadi sorotan publik.

Apesnya, tuduhan itu datang dari orang-orang yang beraninya bersembunyi di balik akun anonim. Jumlahnya pun tidak banyak.

Ya, tiga akun yang pertama kali menyebar meme hoax Bintang Emon pakai narkoba adalah @Tiara61636212, @LintangHanita, dan @LiarAngsa. Lantaran ‘dibantu’ disebarkan oleh mereka yang punya followers segudang, meme itu langsung populer dan jadi bahan perbincangan di mana-mana tanpa perlu ada ‘serangan’ tambahan. Demikian menurut analisis Pakar media sosial dari Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi.

Sementara itu, objek kelucuan yang kedua adalah Polisi. Lewat seorang warganet bernama Ismail Ahmad, humor Gus Dur tentang Polisi kembali menjadi perbincangan publik.

Seperti diketahui, Ismail awalnya mengunggah humor Gus Dur tentang Polisi di media sosial.

“Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng (Gus Dur),” tulis Ismail di dinding Facebooknya.

Nahas, Polisi setempat merasa tersinggung dan lalu memproses Ismail. Belakangan, (oknum) polisi yang memproses Ismail mendapat teguran berlapis-lapis, bahkan dari institusi Kepolisian, baik Polda maupun Polri.

Rupanya, tren bercanda, guyon, kelakar, parodi, atau apapun namanya, telah bergeser ke arah yang cukup riskan. Ada sekurang-kurangnya dua hal yang tampaknya “makruh” untuk dibercandain.

Pertama, agama; dan kedua adalah negara. Keduanya sama-sama berpotensi untuk merundung siapa saja yang berani membercandai.

Ringkasnya, baik agama maupun negara sebaiknya jangan dijadikan sebagai objek kelucuan. Jika agama punya instrumen bernama Ormas untuk meringkus mereka yang berani membercandainya, maka negara pun punya aparat untuk menciduk siapa saja yang lancang menertawakannya.

Tapi, benarkah demikian? Apa benar agama dan negara adalah kelewat suci untuk disentuh oleh yang lucu-lucu?

Terus terang, saya tidak bisa memastikan bagaimana jawabannya.

Yang jelas, sependek pengetahuan saya, tertawa itu adalah sifat khas atau anugerah Tuhan yang hanya diberikan kepada manusia. Dengan tertawa, suasana menjadi riang gembira. Dengan tertawa, keakraban menjadi niscaya. Dan, dengan tertawa, segenap kerumitan hidup menjadi terasa ringan.

Itulah mengapa Anda tidak akan pernah melihat seekor kucing atau semut yang terbahak-bahak melihat tingkah laku manusia. Sebaliknya, kita tentu saja akan tertawa jika melihat kucing tersebut sedang kesemutan.

Nah, jika tertawa adalah sebuah keistimewaan, mengapa ia justru hendak dilarang-larang, atau sekurang-kurangnya dibatasi?

Memang, selera humor masing-masing orang adalah berbeda. Boleh jadi apa yang bagi saya lucu, belum tentu hal serupa akan terjadi pada Anda.

Namun, ada kalanya kita harus jeli melihat mengapa orang menertawakan sesuatu. Dalam konteks agama dan negara, saya termasuk orang yang meyakini bahwa yang sedang ditertawakan bukanlah agama dan negara itu sendiri, melainkan cara orang beragama dan cara orang mengelola negara.

Di titik ini, terkadang humor harus dimengerti sebagai sebuah sarana atau medium kritik. Mengapa? Tentu saja karena sebagai umat awam atau rakyat biasa, kita memang tidak kuasa untuk melakukan perubahan dari dalam sistem, seperti halnya motivasi para politisi.

Wa ba’du, tertawa adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka segala penindasan dan laku represif menang-menangan harus segera dihapuskan.