Ibnu Sina adalah tokoh yang tidak perlu diperkenalkan. Seluruh umat Islam tentu mengenalnya, di kalangan awam sekalipun, ia dikenal sebagai tokoh legenda ilmu kedokteran, penemu sistem peredaran darah. Ilmuwan Islam yang menjadi sumber kemajuan kedokteran modern. Bukti nyata hutang peradaban Barat kepada peradaban Islam.

Nama Ibnu Sina dipakai sebagai nama masjid, rumah sakit, sekolah agama, taman pembelajaran Alquran hingga majelis taklim. Ia adalah bukti nyata kemajuan Islam yang begitu menghanyutkan hingga sekarang. Setelah pusat keilmuan dan sains telah lama bergeser ke Eropa, kehadiran seorang Ibnu Sina seolah masih “cukup” menutup kekecewaan umat Islam terhadap kemunduran besar itu.

Di luar dari glorifikasi tersebut, Ibnu Sina adalah tokoh yang begitu problematis. Seiring dengan penggunaan nama beliau di berbagai tempat bercorakkan Islam, di sana pula suara-suara yang mempermasalahkan hal tersebut, “Kenapa orang yang akidahnya menyimpang dijadikan nama dan kebanggaan bagi umat Islam?” Seiring dengan pujian kepadanya, di sana pula dengan lantangnya disebut sebagai orang yang sesat dan menyimpang dari Islam.

Tuduhan negatif kepada ilmuwan Islam ini bukanlah sesuatu yang aneh atau langka. Mari melihat sebuah kitab dalam ilmu Rijal (ilmu tentang nama dan tokoh) tulisan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (seorang ulama yang juga sangat diakui dalam ilmu tersebut) yang berjudul Lisanul Mizan (3/176).

Ibnu Hajar dalam catatan identitas rawi-rawi hadis tersebut langsung memulai dengan penjelasan yang amat frontal. Menurut Ibnu Hajar, “Ibnu Sina tidak pernah menyampaikan riwayat apapun tentang hadis. Kalau pun ada, riwayat darinya batil dan tertolak karena beliau adalah orang berkeyakinan falsafi, sesat dan tidak diridhai oleh Allah SWT”.

Penggolongan Ibnu Sina sebagai satu kelompok keyakinan yang seolah terpisah dari keyakinan Umat Islam juga dilakukan oleh As-Syahratsani dalam kitab beliau al-Milal Wan Nihal (2/293). Ibnu Sina bersama dengan Al-Farabi dalam kitab tersebut dikatakan sebagai imamnya kaum Falsafiyun.

Di akhir penjelasan beliau, Ibnu Hajar juga memberikan konklusi yang tidak kalah frontal. Menurut beliau, semua ulama yang hidup sezaman dengan Ibnu Sina maupun yang hidup setelahnya telah bersepakat tentang kekafiran beliau dan perbedaan keyakinan beliau dengan keyakinan Islam.

Mari melanjutkan pada bahasan ulama besar lain yaitu Ibnu Katsir, beliau juga seorang ulama seperti Al-‘Asqalani yang nyaris tidak pernah terbantahkan di kalangan Sunni. Dalam al-Bidayah Wan Nihayah (15/668) Ibnu Katsir memulai dengan menyimpulkan penjelasan Imam Ghazali tentang akidah Ibnu Sina. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Al-Ghazali membantah ahli kedokteran Islam ini dalam 20 masalah dan tiga di antaranya telah mengantarkan Ibnu Sina kepada kekafiran. Adapun sisanya (17 masalah yang lain) mengantarkan ilmuwan ini pada level ahli bid’ah.

Tuduhan yang lebih serius lagi disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Itsaghatul Lihfan (2/1031), Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Ibnu Sina adalah seorang Syiah Qaramithah, tidak mempercayai penciptaan, kebangkitan dan juga kerasulan. Poin-poin ini tentu saja berarah pada kesimpulan bahwa ia telah kafir.

Dalam sebagian catatan memang disebutkan bahwa ia sempat bertaubat dari penyimpangan dan kekafiran beliau. Di antaranya, Ibnu Khulqan dalam Wifyatul A’yan (2/160). Tetapi tidak ada yang dapat memastikan hal tersebut. Bagaimana pun juga, ilmuwan ini adalah seorang ulama yang hidup bergelimangan dengan keyakinan yang divonis kafir oleh para ulama.

Fakta di atas tentu terasa menyakitkan, ia adalah kenyataan yang tidak diinginkan. Ibnu Sina diagung-agungkan sebagai representasi kemajuan Sains Islam pada masanya ternyata adalah tokoh kafir dan sesat. Ilmuwan yang dikatakan orang yang menggali ilmu pengetahuan dari kemukjizatan Al-Quran dan hadis ternyata tidak memiliki akidah dan keyakinan sebagaimana tuntunan Al-Quran dan hadis.

Ibnu Sina yang dipasang di papan nama masjid dan sekolah Islam dalam beberapa hal divonis sesat oleh ulama yang kitabnya juga dipelajari di masjid dan sekolah tersebut. Ibnu Sina yang diheboh-hebohkan sebagai tokoh sentral poros hegemoni kemajuan Islam, tokoh yang dipasang di posisi paling depan sebagai bukti bahwa kemajuan barat dianggap hanyalah curian dari Al-Quran ternyata adalah orang yang akidahnya menyimpang.

Bagaimana menyikapi informasi menyakitkan ini? Tentu semua orang dipersilahkan menyampaikan jawabannya. namun fakta yang tidak terbantahkan adalah bahwa ia merupakan orang yang diperhitungkan dalam perkembangan sains, sekaligus divonis sesat bahkan kafir oleh banyak ulama.

Jadi, tentu Ibnu Sina bukanlah cerminan pribadi yang bersedia dipasung pada sebuah keyakinan skriptural. Apalagi jika digambarkan bahwa apa yang ditemukan oleh ilmuwan Islam ini adalah hasil dari kontemplasi terhadap ayat-ayat yang baru saja beliau baca di kitab suci. Hal seperti itu tentu sesuatu yang sangat berlebih-lebihan dan mustahil, tidak mungkin orang yang menolak prinsip-prinsip dasar sebuah kitab suci, lalu menjadikannya sebagai sumber kebenaran ilmu pengetahuan. (AN)