Babak baru penanganan Covid-19 di negeri ini kian membingungkan. Betapa tidak, ketika kurva korban Covid-19 naik ugal-ugalan, pemerintah justru mengajak masyarakatnya (baca: kita) berdamai dengan virus ini. Kantor-kantor bakal dibuka, jalanan telah ramai dan kenormalan baru (new normal) bakal diberlakukan. Tapi terjadi kontradiksi, Presiden Jokowi justru mengingatkan gelombang kedua Covid-19 yang bisa jadi terjadi.

“Tugas besar kita belum berakhir. Ancaman Covid masih ada, kondisi masih dinamis,” kata Jokowi dalam video conference dari Kantor Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (10/6/2020).

Satu hal lagi, beliau juga mengingatkan tentang kemungkinan adanya gelombang kedua covid-19 jika kurva tidak turun. Tapi, caranya bagaimana? “Dan perlu saya ingatkan, jangan sampai terjadi gelombang kedua, second wave (covid-19-red)” kata Jokowi.

Padahal, jika kita mau sedikit saja melongok ke negara lain, kebijakannya mungkin lain. Iran misalnya, tiga hari lalu justru melaporkan kondisi terbaru di negaranya yang kelimpungan akibat Second Wave Covid-19 seperti yang dibilang Jokowi setelah mereka melonggarkan Lockdown. Atau, jika merunut Herd Immunity yang diasumsikan  jadi pilihan pemerintah saat ini,  Swedia yang lebih maju masyarakat, ekonomi maupun infrastuktur kesehatannnya limbung akibat salah kebijakan dan jadi salash satu negara terburuk menangani aneh.

Jadi, apakah ada yang aneh dengan new normal yang digembar-gemborkan pemerintah? Tentu saja, dengan gamblang kita bisa melihat kebimbangan pemerintah dalam penanganan ini. Kebimbangan ini membentuk aturan-aturan yang penerapannya tampak amburadul di lapangan. Mulai dari PSBB hingga aturan mudik yang bobol dan  justru menambah korban virus, serta penyebarannya di pelbagai daerah.

Pemerintah pasti sudah memikirkan risiko ini, tenang saja. Dan, kita bisa barangkali memulihkan ekonomi dengan cepat sebagai ganti kurva korban yang terus naik. Tapi, angka terbaru hari ini bisa jadi membuat kita geleng-geleng kepala, ada 1.241 kasus baru.

Data terbaru perhari ini adalah bukti kongkret tidak singkronnya apa yang dikatakan pemerintah dengan fakta korban di lapangan. Jakarta tetap tertinggi dan Surabaya menguntit di belakangnya. Padahal, kedua kota ini adalah pilar dan jumlah sakit di kedua kota tersebut yang terbaik di negeri ini.

Jika kita melihat data ini dan apa yang dilakukan oleh pemerintah, kita boleh untuk marah. Angka korban dan kematian akibat virus ini bukanlah sekadar angka belaka. Tidak, mereka manusia dan bisa jadi kita akan menjadi korban berikutnya jika kita terpapar.

Jadi, bersiapkah kita menjalani New Normal? siap tidak siap, kita harus terus saling jaga antar sesama ketika negara, lagi-lagi, seperti tidak memikirkan keselamatan warganya.