Hati mana yang tidak bersedih, ketika yang dicinta telah pergi..

maka engkau pun bersedih, lalu menangis..

Hati mana yang tidak bersedih, ketika musibah datang silih berganti

maka engkau pun bersedih, lalu menangis..

Saudaraku, dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, kita senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, bahagia atau sengsara. Perubahan keadaan itu bisa terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah Ta’ala. Sementara semenjak diciptakan, tabiat dasar manusia memang tidak pernah merasa puas. Apabila diberi kesenangan, manusia lalai dan tak menentu. Sebaliknya jika diberi kesulitan, ia akan bersedih dan gundah gulana tak karuan. Padahal sejatinya bagi seorang mukmin, segala yang terjadi pada dirinya, seharusnya tetap menjadi kebaikan bagi dirinya. Begitulah keistimewaan seorang mukmin sejati. Hal ini ditunjukkan dalam sebuah sabda yang diucapkan oleh pemimpin dan suri tauladan bagi orang-orang yang bertakwa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ عجب. مَا يَقْضِي اللهُ لَهُ مِنْ قَضَاءٍ إِلاَ كَانَ خَيْرًا لَهُ, إِِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan  keadaan seorang mukmin. Segala keadaan yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila dia mengalami kebaikan, dia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa keburukan, maka dia bersabar dan hal itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim no.2999, dari sahabat Shuhaib)

Benarlah, bahwasanya hanya orang yang beriman yang bisa lurus dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Hal ini karena ia meyakini keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala serta tahu akan kelemahan dirinya. Tidak dipungkiri memang, musibah dan bencana akan selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, orang yang dicinta kini telah tiada, harta benda musnah tak bersisa, berbagai agenda tertunda, bahkan segenap waktu dan perasaan tercurah untuk memikirkannya.

Hakikat Musibah

Musibah adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (Al-Jami’li Ahkamil Qur’an, 2/175)

تُرْجَعُونَ وَإِلَيْنَا فِتْنَةً وَالْخَيْرِ بِالشَّرِّ وَنَبْلُوكُمْ الْمَوْتِ ذَائِقَةُ نَفْسٍ كُلُّ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)

Dunia ini adalah medan perjuangan seorang mukmin untuk menjadi sebaik-baik hamba. Allah Ta’ala berfirman :

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2)

Pentingnya Istirja’ Ketika Datang Musibah

Istirja’ adalah ucapan إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُونَ yang artinya “Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”

Shahabiyah Ummu Salamah radhiyallahu’anha menyebutkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

:مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ
اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا خْلَفَ وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا؛ إِلاَّ أَ مُصِيْبَتِي إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي

“Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya’; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim no.918)

Kalimat istirja’ adalah obat termanjur bagi mereka yang tertimpa musibah dan paling berguna bagi seorang hamba di dunia dan di akhirat karena ia mengandung dua pondasi dasar yang apabila seorang hamba merealisasikan dengan mengetahui dua pondasi tersebut, insya Allah dirinya terhibur dari musibah tersebut.

Pondasi pertama adalah hendaknya seorang hamba itu mengakui bahwa dirinya, keluarganya, harta dan anaknya pada hakikatnya adalah milik Allah Ta’ala. Dia hanya menitipkannya pada seorang hamba. Apabila Dia mengambilnya, ibarat pemilik barang mengambil barangnya yang dipinjam orang lain

Pondasi kedua adalah bahwasanya tempat kembali dan akhir perjalanan seorang hamba adalah kepada “Pemilik” yang sesungguhnya. Suatu masa, ia harus meninggalkan dunia ini di belakang punggungnya, dan datang mengharap Rabbnya di hari akhir nanti seorang diri, sebagaimana Allah Ta’ala menciptakannya pertama kali, tanpa keluarga, harta, teman.  Seseorang tidak akan membawa apapun kecuali amal kebaikan dan keburukan di akhirat nanti. Karena itu, dengan mengetahui dan menyadari keadaan seorang hamba di awal penciptaan dan di akhir kehidupan dunia, bagaimana mungkin ia akan akan bergembira atau bersedih karena berpisah dengan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya?

Penawar Kesedihan

Sebagian orang beranggapan bahwa orang yang ditimpa musibah seperti sakit dan semisalnya adalah orang yang dimurkai Allah Ta’ala, padahal tidaklah demikian kenyataannya. Terkadang seseorang diuji dengan penyakit dan musibah padahal ia seorang yang mulia di sisi-Nya seperti para nabi, rasul dan orang shalih. Musibah yang menimpa mereka tidak lain adalah untuk mengangkat kedudukan mereka dan dibesarkannya pahala serta sebagai contoh kesabaran bagi orang yang datang setelah mereka.

Terkadang seorang diuji dengan kesenangan seperti harta yang banyak, anak-anak, istri dan lainnya, akan tetapi tidak sepantasnya dikatakan orang yang dicintai Allah Ta’ala jika tidak melakukan ketaatan kepada-Nya atau justru terlena karenanya. Orang yang mendapat berbagai kenikmatan bisa jadi memang termasuk orang yang dicintai Allah Ta’ala atau bahkan sebaliknya.

Seorang mukmin hendaknya yakin bahwa apa yang ditakdirkan Allah Ta’ala niscaya akan menimpanya dan tidak meleset sedikitpun. Sedangkan apa yang tidak ditakdirkan oleh-Nya pasti tidak akan menimpanya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya :

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikan itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(Al Hadid: 22-23)

Ingatlah Saudaraku, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.”(HR. Tirmidzi, shahih)

Ada Faedah di Balik Musibah

Saudaraku, sesungguhnya musibah yang menimpa, tak lain adalah sarana penggugur dosa seorang hamba, seperti yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Ujian akan terus datang kepada seorang mukmin atau mukminah mengenai jasadnya, hartanya, dan anaknya sehingga ia menghadap Allah tanpa membawa dosa.” (HR. Ahmad, hasan shahih)

Allah Maha Bijaksana, tiada keputusan dan ketentuan-Nya yang lepas dari hikmah. Tak terkecuali dengan perkara musibah ini. Kalaulah seandainya tidak ada faedah dari musibah ini kecuali sebagai penghapus dosa dimana itu saja sudah mencukupi, apatah lagi jika di sana ada setumpuk faedah? Subhanallah!

Terakhir, mari kita perhatikan nasihat Ibnu Qayyim rahimahullah berikut ; “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah (yang dapat kita gali.red). Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lamu yang sia-sia di bawah sinar matahari.” (Lihat Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawaz)

Artikel Muslimah.Or.Id

Penulis: Novia Kurniawati Ummu Ilyas

Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’ :

sumber: https://muslimah.or.id/4041-karena-setiap-kita-akan-diuji.html