Pancaran kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Berkat kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, sahabat dari Dzun Nun al-Mishri mendapatkan ingatannya yang sempat hilang.

Alkisah, Abu Hasan al-Farisi suatu ketika pernah bercerita tentang salah seorang sahabat Dzun Nun al-Mishri yang mengalami gangguan ingatan. Dia selalu berjalan dan berkeliling sambil berkata, “ah, di mana hatiku? Di mana hatiku? Siapa yang menemukan hatiku? Siapa yang menemukan hatiku?

Kisah ini termaktub dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat min Qashash ash-Shalihin wa Nawadir az-Zahidin karya Ibnu al-Jauzi. Orang yang hilang ingatan tersebut selalu diganggu oleh anak-anak dan dilempari batu oleh mereka.

Hingga pada suatu hari, dia masuk ke dalam salah satu gang di Mesir untuk menghindari gangguan anak-anak kecil. Setelah masuk gang, dia pun berhenti untuk istirahat sejenak. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara tangisan anak kecil yang sedang dimarahi dan dipukuli oleh ibunya. Si ibu kemudian membawa keluar anaknya itu dari dalam rumah, lalu menutup pintu rumah dan membiarkannya berada di luar.

Si anak pun tengok kanan kiri. Dia bingung tidak tahu harus kemana, dan harus pergi menemui siapa. Setelah agak tenang, dia berjalan kembali ke pintu rumah ibunya, lalu menyandarkan kepalanya di ambang pintu dan tertidur.

Setelah beberapa saat tertidur, anak kecil tersebut kembali terbangun dan menangis lagi sambil merengek, “ibu, siapa yang membukakan pintu untukku jika engkau menutupnya, dan tidak membolehkan saya masuk? Siapa yang akan mendekatkan diriku kepadamu, jika engkau mengusirku dan menjauhkan diriku darimu? Siapa lagi yang akan menyayangiku setelah engkau marah kepadaku?

Mendengar rengekan anaknya seperti itu, sang ibu merasa kasihan kepadanya. Lalu, dia beranjak melihat anaknya itu dari balik celah pintu. Dia melihat anaknya itu menangis tersedu-sedu dalam kondisi berbaring di tanah.

Lantas, sang ibu langsung membuka pintu, meraih anaknya itu dan meletakkannya di pangkuan. Sang ibu kemudian memeluknya, dan menciumnya sambil berkata, “Sayangku, engkau sendiri yang telah membuat ibu sampai marah kepadamu. Engkau sendiri yang telah menyebabkan dirimu mengalami hal seperti ini. Seandainya engkau patuh kepada ibu, niscaya engkau tidak akan mengalami hal seperti ini.

Melihat kejadian tersebut, sahabat Dzun Nun yang mengalami gangguan ingatan itu tiba-tiba sedih dan seketika itu berdiri. Dia pun menjerit hingga banyak orang berdatangan mengerumuninya.

Orang-orang pun bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu?

Aku telah menemukan kembali hatiku, saya telah menemukan kembali hatiku.” Jawabnya.

Dan ketika bertemu dengan Dzun Nun, ia pun berkata, “Wahai Abul Faidh, aku telah menemukan kembali hatiku di gang di dekat rumah si fulanah!” Dan setiap kali merasa sedih, ia selalu mengulang ulang perkataan itu.

Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, maka tidak selayaknya kita membuat marah orang tua kita baik itu bapak maupun ibu. Namun, sosok ibu mempunyai hati tersendiri dalam diri anak-anaknya. Mungkin di mata orangtua atau ibu kita, kita selalu dianggap sebagai anak-anak yang harus selalu diberi bimbingan walaupun kita sudah menjadi besar. Jauh dari seorang ibu hidup hanyalah kesedihan. Apalagi jauh darinya untuk selamanya.

Oleh karena itulah sayangi ibu kita, sayangi orang tua kita. Ketika kita masih kecil, kita tak mampu jauh dari mereka. Orang tua kita juga selalu ada di dekat kita. Maka, di saat orang tua kita sudah mulai tua jagalah mereka, sebisa mungkin jangan terlalu jauh darinya. Dan jangan membuatnya marah. Kalau mereka marah, kepada siapa lagi yang akan menyayangi kita.

Dan seorang ibu adalah tempat berkeluh kesah bagi anak-anaknya, maka tidak selayaknya seseorang yang masih mempunyai ibu atau orang tua lengkap selalu berkeluh kesah dengan kesedihan.  Sebagaimana sebuah ungkapan Arab;

من يملك أما ويراها كل صباح ومساء لا يحق له التحدث عن الحزن

 “siapa saja yang masih mempunyai seorang ibu dan masih bisa melihatnya di setiap pagi dan sore, tidak patut baginya berbicara mengenai kesedihan.