Rokhmat S. Labib, salah seorang yang duduk sebagai Dewan Pimpinan HTI menyatakan bahwa:

“Dalam semua hukum, ada perkara yang disepakati para ulama, adapula perkara ikhtilaf atau para ulama berbeda pendapat. Bila khilafah ditolak karena ada perbedaan ulama dalam hal rincian, maka dengan logika ini, hukum-hukum Islam lainnya juga akan ditolak.

Rincian hukum sholat ada perbedaan pendapat para ulama, lalu apakah hukum sholat akan ditolak? begitu pula rincian hukum haji, puasa, zakat, dan lain-lain. Apakah hanya karena perbedaan ulama dalam hal rincian tersebut lalu hukum-hukum tersebut dianggap tidak baku dan ditolak?

Ini adalah kesalahan logika yang fatal. Seharusnya, bila dalam rincian ada perbedaan, maka untuk pelaksanaannya di-tarjih, mana pendapat yang dipandang lebih kuat.”

Pernyataan Rokhmat S. Labib ini disampaikan dengan caption “Kesalahan Logika Menolak Khilafah”. Jika kita tidak mencermati lebih lanjut pernyataan di atas, kita bisa jadi akan terbius dengan apa yang disampaikan pentholan HTI yang dinyatakan sebagai organisasi terlarang ini. Mengapa? Sebab dia mencoba mengajukan argumentasi yang membenarkan ide khilafah versinya dengan mencatut dialektika mengenai persoalan khilafiyah dalam fikih. Namun, maksud sebenarnya dari dia adalah, ketiadaannya untuk berlaku taslim (menerima) terhadap konsepsi negara yang sudah disepakati oleh para pendiri bangsa dan sekaligus yang didukung oleh para ulama ini.

Oleh karenanya, pemaksaan ide dengan gagasan khilafah adalah termasuk pendapat yang jelas masuk dalam kategori syadz (nyleneh). Jika ide ini diikuti dengan praktik berupa menolak lewat aksi sebuah gerakan (harakah) yang dilengkapi dengan suatu karakteristik berupa landasan faham tertentu, maka aksi itu sudah bisa dilabeli sebagai isme. Lebih tegasnya, adalah khilafahisme. Tapi, uniknya mereka juga menolak ide khilafah mereka sebagai isme dengan alasan bahwa ide mereka sesuai dengan ajaran Islam. Jika dicap sebagai ide anti toleransi, mereka juga menolak karena ide mereka beralasan ide itu dari Islam. Jika dicap sebagai faham kaku (radikal), mereka juga menolak sambil tetap ngotot dengan gagasan mereka sendiri.

Padahal, kengototan dengan gagasan yang digariskan oleh mereka sendiri inilah sebenarnya yang dimaksud sebagai paham radikal. Hal yang paling tampak adalah tidak menerima gagasan pihak lain dan tertutup, sampai-sampai mengharamkan ikut Pemilu dan demokrasi, menolak voting, dan sejenisnya dengan mengatasnamakan ajaran Islam. Dan mereka tetap tidak sadar bahwa gagasan yang lahir dan mewarnai Indonesia itu juga lahir dari ide orang Islam.

Sebuah kesepakatan yang dilakukan oleh para pendiri bangsa dan sekaligus diamini oleh para ulama di masanya, dalam istilah fikih disepakati hukumnya sebagai suatu perkara yang mujma’ ‘alaih atau bahkan muttafaq ‘alaih. Faktanya, seluruh ulama yang hadir saat ide dan gagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak ditolak dan bahkan mereka meneguhkannya. Itu artinya bahwa NKRI, Pancasila dan UUD 1945 itu adalah sesuatu yang disepakati sebagai landasan gerak dan landasan hidup “berbangsa” dan “bernegara”. Karena adanya wujud kesepakatan inilah, maka Indonesia disebut juga sebagai Darul Mu’ahadah Wathaniyah, yaitu negeri kesepakatan yang berwatak nasionalisme. Konsepsi semacam ini dalam bingkai ilmu tafsir dikenal dengan istilah laun (corak).

Mengapa ada konsepsi Darul Mu’ahadah?

Indonesia dihuni oleh bukan dari umat Islam saja. Dan ini sudah disadari serta disepakati oleh seluruh penduduk Indonesia di masa awal penyusunan corak negara. Untuk itu, keputusan menentukan corak negara ini sudah pasti harus mampu mengadopsi seluruh kepentingan yang ada saat itu. Dan salah satu jalan menjembataninya adalah dengan cara mengambil nilai-nilai universal yang bisa diterima oleh semua pihak.

Di dalam syariat Islam, nilai-nilai universal ini tertuang di dalam istilah maqashid syari’ah, yang berisikan penjagaan dalam agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Untuk bisa menerapkan kelima hal itu, maka dibutuhkan wadah. Dan satu-satunya wadah yang dipandang paling maslahah, adalah ketika Indonesia diakui sebagai negara merdeka. Jika Rokhmat S. Labib tidak faham dengan maqashid syariah ini dan penerapannya di Indonesia, lantas bagaimana ia hendak berbicara persoalan khilafiyah?

Untuk mendapatkan pengakuan bahwa Indonesia adalah sebuah negara, lengkap dengan batas-batas administratifnya, maka Indonesia harus memiliki landasan hukum yang mengatur kehidupan seluruh warganya. Tanpa hukum, maka Indonesia tidak akan mampu menjalankan kehidupan bersama, sebab Indonesia terdiri dari berbagai suku dan bangsa.

Tanpa batas administratif, maka Indonesia tidak memiliki kedaulatan yang harus dipertahankan. Tanpa pertahanan kedaulatan, tidak perlu ada angkatan bersenjata,atau tentara. Alhasil, tentara dalam ranah tata kelola wilayah administratif negara, adalah berfungsi mempertahankan kedaulatan.

Menyadari akan fakta itu, maka muncul konsepsi musyawarah yang terdiri dari seluruh wakil suku, bangsa, golongan yang diwadahi dalam sebuah lembaga permusyawaratan. Inilah sebabnya kemudian Indonesia dicanangkan sebagai sebuah nation state (negara berwawasan kebangsaan) yang diberi nama Indonesia. Alhasil, Indonesia berdiri di atas konsepsi dasar maqashid syariah dan kemaslahatan.

Di dalam fikih, pendapat yang paling diterima dan dijadikan pedoman bersama adalah bila pendapat itu masuk dalam ranah tidak keluar dari ketentuan syara’, serta merupakan yang ashlah (paling maslahah) sesuai dengan konteks (wadh’i) yang dibicarakan hukum. Jadi, tidak setiap pendapat sifatnya harus di-tarjih.

Bahkan, bila suatu ketika ada pendapat dalam kedudukannya merupakan pendapat yang shahih, akan tetapi pendapat tersebut tidak mashlahah, dan bila ada pendapat lain yang lebih mashlahah (ashlah) serta tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat, maka justru pendapat yang lebih maslahah ini yang dipergunakan dalam ranah hukum. Dan pengambilan acuan yang seperti ini sudah banyak diuraikan oleh para ulama. Dan selama pengambilan dan pemakaian pendapat yang lebih ashlah dan disepakati ini, tidak ada satupun pendapat yang kemudian menyatakan tinggalkan shalat, tidak usah puasa, tidak usah haji, dan seterusnya. Apakah Rokhmat S. Labib mengetahui akan hal ini? Tidak, bukan?

Bahkan, dalam pelaksanaan shalat di masjid ketika ada wabah, inti shalatnya juga tidak pernah hilang, namun tetap disertai dengan adanya pertimbangan pada fakta dan realitas. Sekali lagi dalam urusan ini, HTI bersama dengan pengikutnya, justru menyatakan pendapat kebalikan dari kemaslahatan umum bersama dengan mengatasnamakan nash yang menyatakan bahwa masjid merupakan tempat yang paling aman.

Jika demikian yang terjadi, mengapa jika mereka mengalami sakit kudis, tidak langsung saja dibawa ke masjid? Toh, penyakit tidak bisa masuk ke masjid sebab tertinggal di halaman masjid. Memaksakan keyakinan yang masih multitafsir adalah sebuah kebodohan. Berbicara soal tarjih namun menolak soal ashlah, ashah, arjah, adalah sebuah pengingkaran terhadap praktik dan khazanah Islam yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu.

Jadi, siapa sebenarnya yang tidak paham khilafiyah? Dengan begitu, memaksakan khilafahisme versi mereka dan mengenyampingkan gagasan yang sudah mapan dan disepakati bersama, sejatinya adalah menggambarkan watak idealisme Sang Diktator Potensial.