Meskipun pandemi sudah berlangsung hampir satu tahun, tapi masih ada banyak orang yang tidak mempercayainya dan lebih meyakini kalau Covid-19 adalah konspirasi elit global, rekayasa pabrik farmasi, dan vaksin adalah propaganda Cina. Survei Kementerian Kesehatan bersama WHO dan Unicef pada November 2020 lalu menemukan bahwa ada 64,8 % penduduk Indonesia yang mau menerima vaksin, 7,8 % menolak, dan 27,6% menyatakan tidak tahu.

Angka tersebut cukup rawan, mengingat hanya 64,8 % yang bisa dipastikan dapat menerima vaksin. Lantas, kenapa sebenarnya masih ada banyak orang yang menolak vaksinasi? Dari sisi psikologisnya kenapa orang bersikap demikian?

Salah satu penjelasan yang amat membantu adalah dengan pendekatan ahli psikologi moral Jonathan Haidt. Melalui bukunya The Rightous Mind, ia menjelaskan bahwa manusia memiliki enam landasan moral yang menjadi acuan dasar kenapa orang memilih sikap dan tindakan tertentu. Dalam konteks ini, ada beberapa landasan moral yang nampaknya menjadi dasar acuan kenapa orang menolak untuk divaksin dan kenapa mereka lebih percaya dengan informasi yang palsu terkait pandemi.

Landasan moral pertama yang barangkali relevan adalah “mengayomi/membahayakan”. Landasan moral ini yang seringkali dieksploitasi oleh banyak influencer yang kampanye wacana tidak percaya dengan adanya pandemi dan juga menolak vaksinasi.

Belum lama ini, Ribka Tjiptaning, seorang anggota DPR-RI membuat sekian pernyataan yang menolak adanya vaksinasi. Ia berpidato dengan penuh berapi-api seolah menyampaikan hal yang membahayakan. Ia menyebutkan bahwa vaksin ditolak di luar negeri dan malah dibeli di Indonesia.

Ribka tidak sendirian. Fadli Zon juga memiliki sikap yang serupa. Ia meragukan vaksinasi dengan menyebutkan vaksin Sinovac yang pemerintah beli adalah vaksin “palu arit”. Pernyataan yang kurang lebih serupa juga pernah dikatakan Jrinx, musisi band Superman Is Dead (SID). Jrinx pernah mengatakan kalau pandemi adalah konspirasi elit global.

Berbagai wacana yang dikembangkan para influencer tersebut berhasil membangkitkan landasan moral tentang “bahaya”. Manusia memiliki perhatian yang besar terhadap segala sesuatu yang dapat membahayakan keselamatan diri dan keluarganya.

Kampanye yang menyatakan vaksin adalah bikinan asing yang membahayakan, membuat reseptor moral “bahaya” yang manusia miliki bekerja dengan baik. Ia mengalami ketakutan dan kemudian menyebarkan peringatan adanya bahaya tersebut kepada keluarga dan komunitasnya. Lantas kemudian penolakan terhadap vaksin menyebar di masyarakat.

Landasan moral lain yang barangkali dapat menjelaskan fenomena ini adalah landasan “kesakralan”. Landasan ini tak jarang ada dalam komunitas masyarakat beragama. Manusia cenderung adaptif terhadap berbagai aneka ragam ancaman yang sifatnya simbolik. Manusia kemudian memiliki parameter kesakralan yang menjadi acuan ketika merespon sesuatu yang dianggap menjijikkan.

Parameter “kesakralan” dalam komunitas keagamaan, otoritasnya dikendalikan oleh tokoh agama. Tuas otoritas keagamaan ini dapat ditarik ke arah manapun, bisa ke arah menerima mapun menolak vaksinasi. Meski dalam komunitas keagamaan ada sebagian besar yang menganjurkan menerima vaksinasi, namun ada sebagian kecil yang gigih menolak adanya vaksinasi dan tidak percaya dengan adanya pandemi.

Misalnya, pernyataan Ustadz Abdul Somad yang memberikan persyaratan dahulu untuk menerima vaksinasi. Ia menuturkan, jika vaksin covid-19 tersebut juga sudah digunakan oleh negara Arab Saudi dan beberapa negara muslim lainnya, baru kemudian ia mau menerima vaksinasi.

Pernyataan UAS tersebut memang tidak secara langsung menolak vaksinasi. Namun, coba cermati persyaratannya. “Harus digunakan di negara-negara muslim dahulu”, merupakan pernyataan yang memberikan parameter moral “kesakralan” dimana ukuran kesahihan sebuah vaksin ditentukan oleh simbolisme kesakralan negara muslim.

Meskipun kita tahu, negara yang disebut “negara muslim” belum tentu menerapkan nilai-nilai subsansi Islam. Namun, penjelasan itu tidak penting bagi umat yang mendengar pernyataannya. Selama ada “bau” muslim-muslimnya, akan dipercaya saja sebagai institusi yang islami dan dapat dijadikan rujukan umat Islam.

Narasi terkait vaksin yang dibawakan tokoh agama seperti UAS tersebut sangat besar pengaruhnya. Mengingat, kalangan konservatif cenderung memiliki landasan moral kesakralan yang tinggi. Banyak riset di Amerika Serikat tentang landasan moral kaum konservatif memang cukup dominan di landasan moral kesakralan. Dan nampaknya, kaum konservatif di tempat kita juga memiliki gambaran yang serupa dengan itu.

Adapun penjelasan lain secara psikologis yang dapat membantu kita adalah penjelasan Daniel Kahneman terkait “hukum jumlah kecil” dalam sistem kognitif kita. Sebagai seorang ahli psikologi pengambil keputusan, ia telah banyak meriset bagaimana orang dapat meyakini informasi tertentu. Rupanya, orang cenderung memercayai sedikit informasi namun punya penjelasan singkat yang seolah rasional, dibandingkan harus mengumpulkan banyak informasi yang lebih luas dan memiliki fakta-fakta yang ilmiah.

Dalam konteks pandemi sekarang ini, nampaknya penjelasan Kahneman sangat membantu. Bayangkan saja, orang lebih memercayai disinformasi politisi yang menyebut “Sinovac vaksin Cina” daripada berbagai penjelasan epidemolog yang memiliki keahlian di bidang pandemi.

Pernyataan “Sinovac vaksin Cina” dan “pandemi adalah konspirasi elit global” adalah informasi yang ringkas dan nampak seolah meyakinkan dan rasional. Banyak orang, setelah mendengar pernyataan tersebut barangkali akan membayangkan bahwa pandemi adalah rekayasa pemerintah Cina, pengusaha Amerika, bahkan orang-orang kaya Yahudi. Sekilas memang masuk akal, tapi jika didalami adalah salah kaprah.

Melalui berbagai penjelasan ini, justru menggambarkan bawaan naluriah manusia sangat kurang cocok dengan gaya hidup ilmiah dan mendalam. Naluriah manusia cenderung cocok dengan informasi palsu dan berita yang mendahulukan sensasi.

Tapi janganlah bersedih. Manusia sebenarnya bisa berubah menjadi lebih rasional, tapi syaratnya adalah dengan cara-cara yang lebih simpatik dan menghargai. Orang berubah dengan cara yang pelan. Orang tidak bisa berubah hanya karena melihat kontra narasi para buzzer yang menyebut mereka sebagai “kadal gurun”. Alih-alih akan merubahnya, cara-cara yang menghakimi cenderung semakin mengokohkan sikap mereka. Wallahua’lam.