Bayangkan jika Anda memiliki keluarga, seorang pemuda yang baik, cerdas dan tampak memiliki masa depan yang cerah. Tiba-tiba saja ia menghilang, keluarga sudah mencari ke segala penjurudan beberapa bulan berikutnya ada kabar mengejutkan: pemuda itu, keluargamu yang hilang itu, dikabarkan tertangkap polisi dan harus diadili karena terlibat jaringan terorisme. Ia adalah salah satu yang orang yang terbukti membantu peledakan sebuah gereja.

Lalu, coba bayangkan perasaan ibu yang melahirkan pemuda itu. Hati ibu siapa yang tidak hancur melihat peristiwa ini? Apalagi, selama ini yang ibu itu tahu, anaknya seperti pemuda lainnya: terbiasa ke masjid, sekolah seperti biasa dan tidak terlalu neko-neko. Meskipun belakangan, katanya, ia gemar ikut kajian dan mulai tertutup. Beberapa kali pula mereka berdebat, tapi ia merasa sikap anaknya itu masih dalam kadar yang bisa tertoleransi.

Inilah bayangan yang dialami Ibu dari Alamsyah—bukan nama sebenarnya—ketika mendapati kabar anaknya harus dijebloskan ke penjara atas fakta yang menyesakkan dada itu. Anaknya adalah simpatisan Bom Samarinda pada tahun 2016 dan tertangkap dan kini harus menjalani beratnya hidup jadi napiter dengan segala cap buruk yang melekat di tubuhnya.

Hidup dengan cap teroris—meskipun ia sudah tobat, misalnya—sungguh perkara yang mudah, apalagi jika harus  kembali ke masyarakat. Kini, anaknya itu harus sendirian menghadapi beratnya mendapatkan cap itu. Kesendirian, anda tahu, begitu memudahkan orang untuk terjebak pada lubang kesedihan yang sama dan di level tertentu, bisa jadi ia akan merasa tersingkirkan oleh dunia dan mungkin akan memilih jalan yang sama seperti terdahulu. Jalan berjejaring dengan para ekstremis untuk menebar ketakutan dan merasa paling benar. Dan salah satu paling penting ketika bersama jaringan itu, ia tidak lagi sendirian. Eksistensinya diakui, pikiran masa mudanya pun tersalurkan.

Untung saja, di tempat ia diasingkan untuk menerima segala konsekwensi dari perbuatan buruk yang telah ia lakukan, Alamsyah yang kini sudah menginjak 20-an tahun, sedikit bersyukur karena mendapatkan sosok yang penuh cinta seperti ibunya.

Sosok itu ia dapatkan dari perempuan biasa, seorang yang mungkin juga akan anda temukan di sekitar kita, tapi dengan kebesaran hati yang paripurna bernama ibu Sriwanti. Sosok yang kerap ia panggil ‘Bunda Wanti’, seorang penyuluh dari kota di bawah Kaki Gunung Semeru, Kota Lumajang, di Jawa Timur.

 Penyuluh Perempuan dari Kaki Gunung Semeru

Sriwanti (46th) atau yang biasa dipanggil Bunda Wanti, mungkin tidak akan pernah berpikir akan berjumpa dengan sosok Alamsyah dan para napiter-napiter lain. Orang-orang yang ia anggap sebagai manusia lainnya sama seperti kita, hanya saja menurut dia, mereka sedang terjebak atau salah menapaki jalan hidup.

Bunda Wanti memang sejak lama terjun di masyarakat secara langsung di lapangan.  Perempuan yang aktif sebagai penyuluh dari Kementerian Agama itu sedari dulu terbiasa aktif mengurusi anak-anak jalananan. Sejak mahasiswa hingga jenjang master, ia juga terbiasa bergaul langsung dengan pelbagai orang dengan latar belakang berbeda. Dari situ pula, melalui pengalaman-pengalaman dari ragam organisasi, ia akhirnya berani untuk mengambil profesi yang mungkin bagi sebagian orang cukup berisiko: menjadi penyuluh napiter.

Menjadi penyuluh, apalagi urusan napiter, tentu saja kerap membuat kita orang-orang biasa mungkin takut. Betapa tidak. Anda bisa berhadapan langsung dengan orang-orang yang bisa dengan gampang melakukan kekerasan hanya karena berbeda paham/aliran. Belum lagi, orang-orang ini mungkin punya metode untuk brainwash (cuci otak) yang mungkin canggih. Bisa jadi ia punya metode-metode subliminal message (pesan tersembunyi) yang tidak disadari oleh manusia biasa. Metode yang hanya membutuhkan obrolan dan mudah untuk menarikmu dalam kesimpulan-kesimpulan yang ia inginkan.

Dalam budaya populer, kita mengenal kisah Joker dalam Komik Batman yang mampu membuat penyuluhnya di penjara, Harley Quin, akhirnya ikut dalam gerombolan ekstremis hanya dengan obrolan-obrolan di penjara.  Siapa yang bisa menjamin kisah ini tidak dialami oleh para penyuluh Napiter seperti Bunda Wanti. Siapa yang tidak bergidik dengan fakta ini?

Keluarga dari Bunda Wanti pun awalnya juga khawatir. Bahkan, anak-anaknya pun kerap mempertanyakan keputusan itu, suaminya pun pernah mempertanyakan. Tapi, ia yakin, keputusan ini sudah melalui pelbagai pertimbangan. Ia juga berpikir, siapa lagi yang mengajak bicara mereka? Bagaimana napiter ini mau berubah jika tidak ada yang mau mendengarkan mereka?

“Penyuluh itu identik dengan lapangan, di tengah masyarakat langsung. Keluarga saya, rasa khawatir itu pernah. Manusiawi. Keluarga juga tanya, suami dan anak-anak pun. Lambat laun, Mamah, kata anak-anak pasti bisa. Mereka akhirnya mengerti,” tutur Bunda Wanti dalam obrolan dengan teman-teman peneliti PUSAD Paramadina.

Dukungan dari keluarga ini pula yang membutnya kian yakin untuk menempuh jalan sebagai penyuluh dan terjun langsung ke masyarakat. Apalagi, ia memiliki metode dan kerangka berpikir yang membuatnya mampu untuk jadi pelayan masyarakat. Belum lagi satu hal yang menjadikannya bisa mendekati siapa pun dengan pendekatan hati yang ia miliki.

Iya, anda tidak salah baca. Pendekatan hati adalah metode yang ia percaya bisa membuat orang untuk bercerita dan lebih terbuka. Karena ia yakin, pendekatan ini akan mampu masuk ke dalam sanubari manusia—siapa pun itu—dan memasuki sisi terdalam manusia yang paling tidak kelihatan: hati. Ketika seorang sudah tersentuh hatinya, sisi kemanusiaan dari orang paling gelap pun akan mulai sedikit demi sedikit terbuka. Sebuah nyala terang dari kejujuran manusia.

Apalagi, pendekatan hati ini ditambah dengan dua hal yang dimiliki Bunda Wanti: ia adalah perempuan dan seorang ibu. Seorang anak akan selalu mendengarkan ibunya.

Saya Seorang Ibu, Napiter itu Punya Hati, Kita Punya hati

Pendekatan hati yang dilakukan tampaknya saja mudah, tapi sebenarnya begitu sulit diterapkan. Bu Wanti sadar betul itu. Apalagi ketika ngobrol dengan napiter Alamsyah yang secara suku juga berbeda dan memiliki pandangan keagamaan yang berbeda darinya.

Untuk itulah, katanya, ketika mulai untuk berbicara dengan Alamsyah ia tidak pernah mengawali dengan menyudutkan pilihan-pilihannya atau mungkin tafsir keagamaan yang ia percayai. Ia lebih banyak mendengarkan dan bertanya hal-hal sepele seperti ‘kamu tidak kangen ibumu’ atau sekadar membawakan makanan untuknya ketika mengunjungi tempat Alamsyah di penjara.

Proses ini membutuhkan ketabahan dan ketahanan yang tentu saja tidak mudah. Namun Bunda Wanti percaya, manusia bisa berubah. Tak terkecuali mereka yang sudah terjerambab dalam lubang kebencian memakai bahan bakar agama.

“Awalnya pun tidak semudah itu. Tidak pernah sekalipun kami membahas soal agama. Orang seperti Alamsyah akan susah diajak kalau (agama) disentuh. Lalu, akhirnya kita bisa hal-hal sederhana, bicara dari hati ke hati. Membincangkan keluarga, kehidupan dia dan lain-lain. Akhirnya ia mulai membuka diri, ia mulai nyaman,” tambahnya.

Ketika menceritakan itu, Bunda Wanti tampak begitu semangat. Aura optimisme pun terpancar dari sorot matanya yang tajam tapi dengan nada bicara yang tetap lembut. Saya bisa membayangkan, ketika berbicara dengan Bunda Wanti, ia bisa jadi teringat ibunya yang berada di ratusan kilometer dari Lumajang itu. Ibu yang telah melahirkan dirinya dan mungkin saat ini begitu sedih mencari anaknya yang entah ke mana.

Apalagi, menurut keterangan Bunda Wanti, Alamsyah memang sempat tercuci otaknya. Ia diajak oleh temannya ikut kajian hingga membuat orang tuanya pun dikafir-kafirkan. Bahkan, ia sempat akan dikirimkan ke Suriah untuk berjihad tanpa sepengetahuan orang tuanya.

 “Ketika saya kontak orang tuanya. Saya bilang, saya pengganti Ibu di sini, saya sekarang menemani Alamsyah, membina anak ibu. Ketika dikabarin itu, orang tuanya pun kaget, dan menangis-nangis sejadi-jadinya,” tuturnya.

Salah satu titik poin yang membuat Alamsyah berubah adalah ketika terjadi peristiwa pemboman serupa yang membuat anak-anak kecil menjadi korban. Perempuan yang jadi ketua Pokjalu Kab. Lumajang itu akhirnya mengajak bicara Alamsyah tentang peristiwa itu.

“Bukalah hatimu, Alamsyah. Ini anak kecil, ada banyak korban tidak bersalah dari terorisme,” tambahnya.

Akhirnya, Alamsyah pun menangis sejadi-jadinya. Sentuhan hati dari seorang ibu mampu membuat dinding hati dari napiter itu pun bergetar dan akhirnya runtuh. Sisi manusiawi dari Alamsyah pun terketuk. Seorang yang awalnya membenci orang yang berbeda dengan dirinya, seorang yang awalnya selalu mengutuk agama yang berbeda, seseorang yang merasa orang lain yang berbeda adalah sosok yang harus dibinasakan.

Kini Alamsyah pun mulai berubah. Bahkan, ketika nanti ia sudah lepas dari penjara, ia meminta Bunda Wanti untuk dimasukkan saja ke pesantren untuk lebih memahami agama dengan benar, tafsir agama yang lebih damai dan lebih humanis.

“Saya seorang ibu, saya percaya napiter itu juga manusia dan bisa dijak dari hati ke hati,” tutupnya.

Bunda Wanti telah memberi contoh bagaimana pendekatan hati ternyata mampu menjadi alat yang efektif untuk mendekati manusia dan mampu mengubah manusia yang keras jadi lebih lembut. Sebuah pendekatan yang harusnya lebih banyak digunakan untuk lebih memahami manusia yang terjerat terorisme yang kompleks itu.

 

*Feature ini hasil kerjasama Islami.co dengan PUSAD Paramadina-Guyub UNDP*