Imam Ahmad bin Hanbal adalah satu di antara murid terbaik Imam al-Syafi’i (150-204 H). Murid Imam al-Syafi’i sewaktu masih menetap di Baghdad tersebut pada akhirnya nanti  dapat membangun tradisi keilmuan sendiri, madzhab Hanbali. Salah satu madzhab fiqih yang hingga saat ini diikuti oleh jutaan umat Islam, baik secara metodologis ataupun praksis.

Dalam bidang hadis, Imam Ahmad identik dengan masterpiece-nya, Musnad Ahmad. Kitab kanonik yang memuat 27 ribu hadis. Tercetak dalam 12 jilid yang tebal. Karena ini, meskipun banyak kitab musnad yang ditulis oleh ulama lain, namun jika disebut kitab musnad, maka kita akan memahaminya sebagai Musnad Imam Ahmad.  Dari titik ini, tidak aneh jika kepakaran Imam Ahmad dalam bidang fikih dan hadis sudah ghalib kita kenal. Lantas bagaimana dalam bidang tasawuf?

Sebagai salah satu jawaban yang dapat diajukan adalah kitab al-Zuhd. Karya Imam Ahmad bin Hanbal yang fokus menyajikan ulasan perilaku zuhud. Laku hidup yang ditapaki oleh ahli tasawuf. Zuhud adalah tidak menjadikan dunia sebagi tujuan utama. Sebaliknya, dunia adalah singgahan sementara untuk menuju kehidupan yang abadi, akhirat. Tetapi bukan lantas melupakan dunia. Namun menjadikannya sebagai ladang akhirat.

Lebih lanjut, setidaknya ada dua hal menarik, mengapa kitab al-Zuhd karya Imam Ahmad penting kita telaah. Pertama, dari sisi konten, kitab setebal 480 halaman ini sangat luas dan detail menyajikan riwayat sikap dan pandangan hidup terkait dengan zuhud. Mulai dari laku hidup zuhud para tabi’in, sahabat, hingga  para Nabi dan Rasul. Termasuk di dalamnya adalah Nabi Sulaiman, Nabi Dawud, Nabi Yunus, Nabi Ayub, Nabi Musa dan Nabi Isa (doa keselamatan semoga senantiasa tersanjungkan kepada beliau semua).

Sebagai misal, pada bab yang menjelaskan pandangan zuhud Nabi Isa, Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan banyak kalam hikmah Nabi Isa. Di antaranya adalah peringatan keras Nabi Isa terhadap pemuka agama (ulama su’). Yakni kelompok ulama yang mementingkan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat. Ulama yang cinta dunianya melebihi kecintaannya terhadap akhirat. Ulama yang pandai berdalih dengan ilmu, tetapi kosong dalam penghayatan dan pengamalan.

Kedua, kitab yang diterbitkan oleh Dar al-Rayan Kairo (1992) ini dapat menjadi pintu masuk untuk melihat perkembangan penulisan kajian tasawuf di abad II-III H. Kekhasan dari kitab al-Zuhd karya Imam ahmad ini adalah penyajiannya dalam bentuk riwayat. Masing-masing ulasan per babnya dipaparkan dengan gaya penulisan kitab hadis. Yakni mencantumkan sanad dan matan. Hal ini tentunya sesuai basis keilmuan Imam Ahmad dalam bidang periwayatan hadis.

Jika dikomparasikan dengan kitab tasawuf di masanya, semisal kitab Risalah al-Mustarsyidin dan Adab al-Nufus karya Imam al-Harist al-Muhasibi (165-243 H), kekhasan gaya penulisan Imam Ahmad tersebut sangat kentara.

Imam al-Muhasibi, meskipun hidup dalam satu era dengan Imam Ahmad bin Hanbal, memilih menyajikan kedua karyanya dengan narasi deskriptif sebagaimana umumnya. Tidak banyak mencantumkan hadis secara utuh, baik dari sanad ataupun matan. Namun demikian, karya-karya kedua ulama ini menarik dan penting kita kaji. Di antaranya adalah untuk melihat dinamika kajian dan penulisan kitab tasawuf di abad II-III H. Semoga keberkahan ilmu keduanya menyapa dan menginspirasi kita.