Ketika belajar di Madrasah Tsanawiyah dulu, saya yang saat itu masih remaja dan berangkat dari pinggiran kota, pada awalnya ‘tidak terima’ ketika harus mondok di satu desa di luar daerah dengan fasilitas seadanya. Betapa tidak, lha wong cita-cita saya sekolah di SMP Favorit di kota. Saya berulang kali curhat kepada orang tua saya bahwa guru-gurunya tidak cukup kompeten menyajikan pelajaran, terutama pelajaran yang favorit di kota seperti matematika, IPA dan Bahasa Inggris.

Orang tua saya tak mengelak maupun membenarkan, mereka hanya menyuruh saya agar sabar. “Percaya saja ada barokah, Le.” Kata orang tua saya.

Saya yang kesal karena tak bisa berbuat apa-apa, akhirnya banyak menghabiskan hari-hari di bangku belakang kelas. Itu adalah posisi paling aman untuk tidur dengan tangan bersedekap di atas meja. Hampir-hampir, semua pelajaran yang dijejalkan di kelas kala itu tidak ada yang tersisa di kepala. Dibandingkan hafalan-hafalan teori dan informasi itu, hal paling saya ingat dari kehidupan madrasah saya adalah sikap hidup guru-guru saya.

Dalam tradisi madrasah kami, kami memanggil guru kami dengan sebutan Yi (dari kata Kyai), dan Pak. Jika sang guru berlatar belakang pendidikan agama, panggilannya adalah Yi. Jika latar belakangnya adalah Pendidikan umum/bukan pesantren, maka panggilannya adalah Pak. Kedua tak jauh berbeda, tetap saja dihormati, hanya beda ‘keramat’-nya saja.

Teman-teman saya di kelas, banyak yang sebenarnya adalah ‘preman’ di kampung halamannya, minimal di rumahnya. Mereka di-madrasah-kan karena orang tua sudah tidak sanggup untuk mendidiknya lagi. Para orang tua percaya bahwa pesantren adalah ‘bengkel’ untuk urusan akhlak begini. Saya, juga teman-teman saya, bukanlah tipe siswa yang dididik hanya dengan kata, intruksi apalagi paksaan.

Seperti pendapat Celestine Frainet (lahir 1896), yang mendaftar setidaknya ada 30 hal yang tidak disukai anak (juga dewasa), antara lain tidak suka disuruh berbaris, tak suka perintah secara pasif, dan lain sebagainya. Keteladanan-lah yang menjadi komandan.

Satu tokoh teladan yang begitu dihormati oleh siswa di madrasah kami adalah Yi Rohmad, guru pelajaran Fikih. Yi Rohmad adalah tipe guru sederhana yang bersahaja. Setiap hari, Yi Rohmad pulang-pergi dari sekolah-rumah menggunakan sepeda jengki. Jarak antara rumah dan sekolah sekitar 10 km, 20 km jika pulang-pergi. Meski dengan kondisi seperti itu, beliau selalu datang paling pagi. Saktinya lagi, hal itu berlangsung dengan tetap menjalankan puasa setiap hari!

Kami benar-benar mengagumi tekad mendidiknya, kelembutannya, kesabarannya. Yi Rohmad tak pernah mengukum kami yang tidur di kelas, beliau hanya meminta kami, dengan lembut, untuk wudhu. Beliau mengerti, bahwa malamnya kami banyak beraktivitas, entah untuk berorganisasi, ngaji atau sekedar nongkrong layaknya remaja kebanyakan. Toh tetap saja beliau memaklumi. Terasa sekali Beliau benar-benar memberikan per-HATI-an (concern) pada kami. Beliau semacam mengirimkan sinyal-sinyal cintanya pada kami. Sinyal itu, yang membuat kami akhirnya merasa sebagai mahluk yang dicintai, dihargai dan berarti.

Pada akhirnya, yang saya ingat hingga kini adalah sosoknya, bukan pembicaraannya. Saya sering kali merasa bodoh sekali, lha kok ndak ada informasi dari beliau yang nyantol di kepala?! Jika diminta mengingat hal apa yang saya pelajari dari proses belajar di madrasah, saya bisa dengan tegas menjawab: sikap hidup sang Kyai!

Dari Yi Rohmad kami belajar disiplin diri. Mendidik diri sendiri supaya menjadi manusia yang memiliki kemandirian berpikir dan bersikap. Dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara, manusia yang ber-swadisiplin, manusia yang tumbuh bukanlah karena ‘perintah-paksaan’, melainkan karena ‘tuntunan’.

Begitulah, cara Yi Rohmad mendidik kami dengan cinta. Bukan berdasarkan perintah, paksaan atau penundukan. Pendidikan yang bukan berdasar pada kekuasaan, melainkan pendidikan berdasarkan kewibawaan. Kewibawaan yang tumbuh dari penghargaan dan kecintaan kepada murid. Segala hal yang sifatnya otoriter, komando, intruksi, dan birokratis diganti dengan sikap menyayangi sebagai ibu, bapak, abang, atau sahabat.

Alasan yang lebih dari cukup untuk membuatnya juga layak dicintai.

Ketika dewasa dan saat ini menjadi guru, akhirnya saya menyadari, cinta adalah syarat utama dan pertama dalam mendidik. Sebab metode bisa ditawar, disesuaikan dengan kebutuhan anak didik. Akan tetapi mendidik dengan cinta adalah nyawa, cinta-lah yang membuat kita terus kuat untuk terus mendidik, baik bagi si teladan maupun si nakal.

Tidak jarang sebagai pendidik, kita sendiri yang dididik, didewasakan oleh mereka. Melalui celetukan, sikap dan polah yang tak pernah terpikirkan. Kebenaran bukan monopoli pendidik, seperti dicontohkan oleh Socrates.

Seringkali Socrates berkeliling hanya untuk sekedar berdialog dengan anak-anak muda. Socrates percaya bahwa setiap orang punya kemampuan untuk menemukan kebenaran. Sebagai mentor, tugas Socrates bukanlah menjejalkan kebenaran, tapi ‘membidani’ kelahiran kebenaran dari pikiran lawan bicaranya. Hingga akhirnya, lawan bicaranya merasa yakin, bahwa dirinya bisa berpikir, secara mandiri. Namun karena metode ini pula, yang akhirnya mengantarkan Socrates ke kematiannya karena dianggap meracuni pikiran anak muda.

Sikap hidup adalah salah satu alasan mengapa Socrates begitu dicintai murid-muridnya. Sikap hidup yang sama dimiliki oleh Yi Rohmad, juga guru-guru di belahan manapun di dunia yang mendidik dengan cinta, bukan dengan teror.