Rasanya tidak satu sudut kota pun yang terlewat atau luput dari pemasangan spanduk atau pamflet yang bergambar para politisi, sembari mengucapkan selamat Idul Fitri. Fenomena seperti ini sepertinya umum di masyarakat kita dan semakin massif dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebagian pengamat politik berpendapat fenomena tersebut adalah bagian dari politik pencitraan yang makin populer di kalangan politisi.

Mungkin kita sulit untuk menebak maksud para politisi yang hadir di ruang publik lewat spanduk dan pamflet tersebut. Tapi, jika kita mengulik bagaimana simbol agama atau keagamaan yang dipakai atau digunakan di dalamnya, maka sedikit banyak kita akan bisa meraba apa yang diinginkan oleh politisi lewat ucapan Idul Fitri tersebut.

Yuk, kita menelisik bagaimana agama ditampilkan oleh para politis dalam iklan pamflet atau spanduk selamat Idul Fitri, khususnya yang ada di Banjarmasin dan sekitarnya. Kasus ini kemungkinan memiliki kesamaan di kota lain di Indonesia, walau tidak seluruhnya sama.

Ucapan Idul Fitri Beraroma Politik

Hendri F. Isnaeni pernah menulis artikel di Historia.id berjudul “Merdeka Kartu Lebaran”. Di dalam esai tersebut Isnaeni mengupas fakta bahwa kartu Lebaran bukan hanya sarana mengucapkan selamat Idul Fitri tapi juga bermuatan politis. Ya, dulu kartu sebagai medium ucapan selamat Idul Fitri sangat populer di Indonesia, terutama di tahun 1980-1990an.

Kartu digunakan sebagai ucapan adalah bagian dari kemajuan industri pos, termasuk di Indonesia. Namun, Isnaeni dalam artikelnya menyebut bahwa tidak ada yang mengetahui kapan umat Islam mulai menggunakan kartu Lebaran.

Bahkan sebagian umat Islam ada yang menganggap kartu Lebaran bukan tradisi Islam, apalagi jika kartu ucapan tersebut dikirim oleh non-muslim, sehingga dulu ada sebagian kalangan yang melarangnya. Adapun bagi mereka yang membolehkan, kartu Lebaran tersebut bertujuan untuk menjalin silaturahmi dengan sesama muslim yang tak dapat dikunjungi.

Namun, seiring berjalannya waktu, kartu ucapan atau parsel (sekarang populer dengan istilah Hampers) sudah mulai diterima masyarakat muslim, atau lebih pasnya tidak dipermasalahkan lagi. Kegiatan berkirim kartu ucapan pun semakin lazim di masyarakat.

Menurut pengakuan JJ. Rizal, sejarawan, dalam artikel Isnaeni di atas, pengunaan kartu ucapan Lebaran sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Bahkan, Rizal menyebutkan bahwa penggunaannya sudah sejak tahun 1927, dan masih dipergunakan dalam narasi politik hingga masa penguasa Orde Baru berkuasa.

Adapun jika kita merujuk pada tujuan pengiriman kartu ucapan Lebaran di atas, yakni sebagai medium menjalin silaturahmi di masyarakat yang tidak dapat dikunjungi, maka wacana yang serupa dapat kita jumpai spanduk atau pamflet Idul Fitri. Kebanyakan iklan ucapan Idul Fitri menampilkan politisi dengan tangan bersedekap di dada. Sepanjang amatan saya hampir 90%  ucapan Idul Fitri menampilkan pose yang sama. Pose tersebut lazim di masyarakat sebagai ungkapan atau simbol meminta maaf kepada masyarakat.

Lihat saja beberapa iklan, spanduk atau pamflet politisi yang bertema ucapan Idul Fitri, kata-kata yang dipasang hampir serupa. Fokus masyarakat lebih ditarik pada sang politisi, ketimbang ucapan lebaran atau permintaan maaf. Hal ini bisa dilihat dari ukuran dan desain gambar politisi yang lebih besar atau berwarna atau menarik perhatian, ketimbang kata-katanya.

Dalam pose lazim, sang politisi juga sering menyertakan atribusi miliknya, seperti yang saya jumpai di salah satu spanduk di mana sang politisi mencantumkan atribusi yang mengaitkan dirinya kepada salah satu organisasi keislaman terbesar di Indonesia. Di kasus lain, para politisi hadir dengan menyertakan istri, bahkan ada yang membawa keluarga penuh.

Adapun jika lebaran dimaknai saat yang lebih mudah mengunjungi dan meminta maaf kepada yang lebih tua; yang lebih rendah pangkatnya mengunjungi yang lebih tinggi. Maka jika spanduk atau pamflet tersebut ditujukan untuk permintaan maaf para politisi tersebut terkesan absurd atau aneh, dan mungkin sekali terjebak lips service belaka.

Sebagaimana adat masyarakat di daerah lain, suasana Idul Fitri biasanya dipergunakan oleh masyarakat Banjarmasin untuk saling berkunjung atau bersilaturrahmi dari rumah ke rumah di sebuah wilayah pemukiman. Ucapan lebaran dan maaf biasanya disampaikan dengan tatap muka agar permintaan tersebut dapat dipahami secara jelas oleh kedua belah pihak.

“Kegagalan” Politik Ucapan Idul Fitri

Dalam kajian budaya populer dikenal istilah “Simulakra”. Sebuah terminologi yang dipopulerkan Jean Baudrillard (1929-2007), seorang sosiolog politik Prancis ketika menggambarkan realitas semu. Bagi Baudrilllard dalam bukunya Simulacra and Simulation menyebutkan bahwa manusia abad kontemporer hidup dalam dunia gambar atau citra (simulacra).

Manusia saat ini hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, hampir tidak ada yang nyata di luar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru, termasuk dalam dunia politik. Para politisi mulai menampilkan diri mereka lewat gambar dan citra. Gambar politisi menjadi berkeliaran di berbagai iklan, spanduk, pamflet hingga layar telepon genggam.

“Indonesia memasuki episode politik simulakra” tulis Ubedilah Badrun, analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta dan Direktur Eksekutif Puspol Indonesia. Menurutnya, politik Indonesia yang populer sekarang adalah diproduksi oleh sebuah industri komunikasi massa. Industri yang mengaburkan fakta melalui konstruksi realitas semu secara masif.

Fenomena di atas menunjukan sebuah episode industri politik yang menghadirkan pemimpin melalui proses pencitraan yang masif. Para politisi berlomba-lomba “mencitrakan” diri dengan nilai atau norma yang disepakati oleh kebanyakan masyarakat. Tak heran jika kemudian, iklan politik adalah salah satu pengeluaran terbesar dalam sebuah kampanye. Ini tentu sebuah masalah jika terus dibiarkan berlarut-larut.

Kembali ke persoalan ucapan Idul Fitri di kalangan politisi, spanduk atau pamflet Idul Fitri bisa saja menjadi ajang pemainan citra politisi untuk meraup dukungan publik. Jika hal ini terjadi, masyarakat hanya menjadi objek belaka. Kepentingan publik mungkin sekali tidak lagi menjadi perhatian dari sang politisi.

Mungkin kita masih ingat adegan dramatis yang ditampilkan oleh Deddy Mizwar dalam film “Naga Bonar Jadi 2” tentang patung Jenderal Soedirman di tengah jalan raya dalam kota Jakarta. Deddy Mizwar marah karena Jenderal Soedirman harus berpose menghormat kepada orang yang acuh. Dari sana kita belajar bahwa jika politisi ingin sekali meminta maaf kepada rakyat, maka mereka harus turun ke masyarakat untuk bisa berjumpa secara langsung, tidak hanya disimbolkan bisa bersalaman pada semua orang lewat spanduk.

 

Fatahallahu alaina futuh al-arifin