Kecakapan kata-kata Sapardi terbaca dari satu halaman buku cetak di masa sekolah. Sapardi jadi puisi pertama bagi banyak anak sekolah di atas tahun 2000-an, sebelum mereka mengenal pesohor dan influencer seperti Tere Liye dan Fiersa Besari. Puisi Aku Ingin jadi mantra ampuh perkembangan kebahasaan anak-anak menuai keremajaan berpeluh kisah kasih di sekolah. Pelajaran Bahasa Indonesia sering bergairah mengingat puisi Sapardi.

Selain di sekolah, sang anak membaca puisi Sapardi di kertas undangan pernikahan yang lebih sering mengetuk pintu rumah pada bulan-bulan baik dalam penanggalan Jawa. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/Dengan kata yang tak sempat/Diucapkan kayu kepada api/Yang menjadikannya abu//Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/Dengan isyarat yang tak sempat/Disampaikan awan kepada hujan/Yang menjadikannya tiada.

Puisi ini tak jarang tercetak bersama potongan ayat dari Kitab Suci. Dua mempelai berkebutuhan melengkapi potongan ayat suci dengan puisi. Mereka mengingat kata-kata Sapardi dari bangku sekolah atau malah dari referensi undangan di media peramban.

Foto Bersama

Sampai sekarang, pelajaran Bahasa Indonesia dan kertas undangan itu menjadi kenang-kenangan pertama sang anak bertaut puisi Sapardi. Dulu, ia berpikir tak akan pernah berjumpa sang penulis. Tapi rupanya keliru. Saat menempuh studi di Solo, ada cukup banyak kesempatan mengalami perjumpaan, perkenalan, hingga makan bersama para penulis sekelas Sapardi. Alih-alih sebagai pengemar, tetapi lebih sebagai romantisme perkawanan orang-orang yang kebetulan menulis dan berjejaring dengan Komunitas Sastra Pawon. Saya tentu saja cuma anak bawang yang berperan sebagai penggembira.

Nahasnya pertemuan pertama dengan Sapardi saya alami tanpa kawan-kawan komunitas sastra. Sehingga saya memang lebih condong sebagai penggemarnya. Sekitar November 2015, Sapardi datang ke Solo dalam peluncuran novel Suti (Penerbit Kompas, 2015). Selayaknya pengagum, saya mengantrekan buku untuk ditandatangani beliau. Novel bertanda tangan penulis belum sah tanpa foto. Keriuhan jamaah Sapardi yang memenuhi Bentara Budaya Balai Soedjatmoko Solo membuat saya ciut memperoleh kesempatan berpose dengan kakek puitis itu.

Seingat saya, sepanjang diskusi novel itu, Sapardi lebih banyak duduk dengan tak banyak gerak saat menjawab pertanyaan-pertanyaan moderator. Selain menggunakan tongkat andalannya, ia juga dibantu seseorang ketika hendak duduk maupun beranjak dari kursinya. Tongkat pemandu jalan, topi, alis dan rambut putih, serta posisi kepalanya yang lebih sering miring jadi ciri khas Sapardi. Sekaligus menjadi sumber keciutan hati saya saat hendak merepotkan beliau untuk berpose bersama.

Foto-foto bersama para penggemar usai. Kakek puitis minta diri ke toilet. Saya dan dua teman masih galau, pulang tanpa foto bersama atau nekat menyusul Sapardi ke toilet. Pilihan jatuh ke opsi kedua. Bertiga kami menunggu beliau di tangga dekat toilet. Lalu menodongnya dengan muka dan kata-kata polos supaya diberi kesempatan berfoto bersama. Sapardi lekas mengiyakan permintaan tiga gadis tanggung itu. Jadilah kami berempat berpose dengan novel Suti di depan kamar mandi sebuah toko buku. Foto itu jadi kenangan visual satu-satunya bagi saya. Sebab pada perjumpaan berikutnya, saya sudah terpengaruh dengan olok-olok menghormati penulis dengan menepikan ritual foto bersama dan antre tanda tangan.

Semangat Berkarya

Saat merampungkan novel Suti, saya belum mencoba-coba menulis resensi. Membaca hanya tinggal membaca, tanpa jejak pertanggungjawaban atau kenang-kenangan terhormat pada karya penulis. Novel itu kemudian dipinjam kawan jurusan Sastra Indonesia untuk proses pengerjaan skripsinya. Tiga tahun kemudian, ia lulus dan novel itu tetap berada di rak bukunya. Saya lantas ingat jokes Gus Dur, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya. Dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah ia pinjam”. Jokes ini jadi sangat relevan karena kami sama-sama menyukai buku.

Setelah novel Suti, saya membeli Bilang Begini, Maksudnya Begitu (GPU, Cetakan Kedua, 2016). Buku apresiasi puisi dibeli dalam ambisi mengenal apa dan bagaimana puisi itu bekerja. Sapardi menemani pembaca dengan penjelasan-penjelasan mudah dimengerti. Ia misalnya menyingkap pemahaman pembaca atas puisi dengan menyandingkannya dengan berita. Jika berita ditulis dengan kata-kata lugas lengkap dengan tanda baca sesuai kaidah kebahasaan baku, maka puisi berhak lahir memunggunginya. Puisi, menurut Sapardi, bebas bermain dengan kata-kata, termasuk tak melulu harus patuh pada tanda baca.

Termasuk jika berita wajib menyampaikan fakta, puisi boleh sebaliknya. Puisi tak terbebani tanggung jawab menyampaikan realitas melalui bait-baitnya. Meski begitu, puisi seringkali tetap mengandung makna atau pesan penyairnya. Pesan itupun tak bisa serta merta dipahami dari kata-kata yang tampak, tetapi perlu juga ditafsir melalui beragam perspektif dan alat bantu. Seperti judul bukunya, sebuah puisi bilang ‘begini’, artinya justru ‘begitu’.

Selanjutnya, saya melihat karya-karya Sapardi dicetak ulang dengan sampul baru. Buku-buku itu terpajang di rak-rak di toko buku. Selain karya cetak ulang, karya-karya baru Sapardi juga terus bermunculan. Salah satunya, buku puisi kolaborasi dengan penulis idola kaum muda Rintik Sedu, Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang (GPU, 2020). Kolaborasi Sapardi dan Rintik Sedu membuktikan keluwesannya mendekatkan puisi dengan anak-anak muda hari ini.

Tak sampai di situ, di usia senja, Sapardi enggan mengalami hari-hari terpisah dari kata. Ia tetap rajin menulis dan memiliki sejumlah naskah siap terbit di dalam laptop kesayangannya. Seorang kawan ilustrator yang terpilih membuat sampul kumpulan cerpen Menghardik Gerimis (GPU, 2019), Na’imatur Rofiqoh suatu hari mengisahkannya kepada saya. Na’im dan kakek puitis merupakan sahabat karib sejak karyanya terbit jadi satu buku setahun silam. Di satu waktu, kakek penulis mengirim beberapa buku karyanya ke alamat indekos Na’im di Solo. Di waktu lain, saat berkunjung ke Jakarta, Na’im membikin janji temu dengan kakek penulis. Ia senang ditraktir makan di restoran dan bertemu istri Sapardi yang cantik jelita.

Dalam pertemuan itu, kakek puitis bercerita mengenai impian-impiannya. Ada cukup banyak naskah yang masih mengendon di arsip pribadinya. Di tahun-tahun ke depan, beliau ingin menerbitkannya satu per satu. Di antara semua cerita Na’im, saya paling ingat soal rencana keduanya berkolaborasi menerbitkan buku anak. Jauh-jauh hari, kakek puitis sudah menyatakan keinginanya supaya Na’im yang menjadi ilustrator cerita-ceritanya.

Saya sangat penasaran dengan buku anak karya Sapardi yang dikisahkan Na’im, dan berkehendak membelinya jika suatu hari buku itu terbit. Belum genap rencana seru itu tertunaikan, kakek penulis menghadap Ilahi Rabbi. Sedikit atau sebanyak apapun pembacaan terhadap karya-karya beliau, di hadapan duka, kita semua sama.

Keriuhan kata-kata tumbuh subur di tanah basah berima daun pandan dan melati. Begini penggalan puisi untuk Sapardi Djoko Damono yang ingin segera saya selesaikan. (AN)