Dalam sebuah artikel berjudul Lebanon Berduka di Tengah Prahara yang tayang di detik.com, Kamis (6/8), Zuhairi Misrawi menyoroti kasus ledakan di Pelabuhan Lebanon yang terjadi beberapa hari lalu dan menjadi isu utama seantero dunia.

Sehubungan dengan itu, saya lalu tertarik untuk memberi sedikit tanggapan atas pandangan Zuhairi Misrawi, terutama perihal konstitusi sektarian.

Pada masanya, Lebanon memang pernah dijuluki “Swiss-nya Timur Tengah” bahkan juga “Paris-nya Timur Tengah”. Tapi itu dulu, sebelum era 1970-an, yang menjadi titik balik dari masa kejayaan dan kedamaian Lebanon menuju masa paling suram, yaitu perang bersaudara berkepanjangan dan baru berakhir pada tahun 1990.

Semenjak itu, Lebanon sangat sukar untuk didefinisikan sebagai sebuah negara. Tatanan negara mulai terseok, kasus korupsi mulai merebak dan kepentingan-kepentingan antar faksi semakin memanas. 

Ujungnya, perekonomian Libanon terus memburuk dan menjadikannya sebagai salah satu negara dengan tingkat hutang paling tinggi di dunia. Aksi massa tak terelakkan bahkan nyaris menjadi peristiwa rutinitas dan biasa-biasa saja. Para penguasa datang silih berganti, semua mengabarkan janji tapi tak ada satupun yang benar-benar membawa perubahan pasti.

Rencana reformasi konstitusi yang dimotori oleh Saad Hariri, eks PM Lebanon bersama koalisi pemerintahannya, termasuk di dalamnya faksi dari Hizbullah, untuk meredam amarah massa atas semakin meluasnya kemiskinan, justru kandas di tengah jalan. Karena terus mengalami kebuntuan, akhirnya Saad Hariri terpaksa mundur dari jabatannya sebagai PM. Bahkan setelah jabatan PM diganti oleh Haasan Diab, Lebanon belum menunjukkan tren ke arah yang lebih baik. Belum lagi persoalan eksternal yang turut hadir memperumit kompleksitas persoalan geopolitik di Libanon dan kawasan.

Secara umum, saya setuju pada poin-poin dari Zuhairi Misrawi yang menyoroti ledakan dahsyat yang memporak porandakan Beirut. Terutama dalam mendudukkan Hizbullah di tengah berbagai spekulasi yang terus bergulir sedemikian massif di media massa dan media sosial. 

Ya, Hizbullah tidak hanya menjadi bagian elit Lebanon, tapi juga menjadi representasi paling otentik bangsa Lebanon yang secara tegas menolak tunduk pada permainan aktor-aktor global di kawasan.

Meski begitu, pendapat Zuhairi perihal politik Libanon tampaknya perlu diberi catatan. Bagi Zuhairi, Lebanon merupakan negara di Timur Tengah yang stabilitas politiknya cukup terjaga. Berikut saya kutip langsung pernyataan Zuhairi:

“Lebanon sebenarnya menjadi salah satu negara di Timur Tengah yang paling stabil secara politik. Kekuasaan dibagi secara merata kepada tiga kekuatan politik terbesar, yaitu Kristen, Sunni, dan Syiah. Pihak Kristiani mendapatkan posisi sebagai presiden, Sunni mendapatkan perdana menteri, dan Syiah sebagai ketua parlemen. Lebanon menjadi contoh terbaik kekuasaan politik berdasarkan konsesi dan kemufakatan, sehingga mampu melahirkan stabilitas politik.”

Paling stabil? Saya pikir tidak sama sekali. Nyatanya, Lebanon justru selalu bergejolak. Kecuali stabilitas yang dimaksud adalah era sebelum 1975, sebelum api perang saudara berkobar. Apa berarti Zuhairi Misrawi setuju dengan pembagian kekuasaan ke dalam bentuk sektarian? Semoga saja dalam konteks Indonesia tidak.

Bagi saya, pembagian kekuasaan Lebanon dalam bentuk sektarian tak lepas dari sisa-sisa pengaruh imperialis untuk menciptakan Lebanon yang terkotak-kotak. Pada masa-masa awal merdeka dari penjajahan Prancis, ada sebuah kesepakatan tak tertulis bahwa kekuasaan harus dibagi berdasarkan kelompok-kelompok sektarian yang ada. Itu lalu dipertegas oleh Ittifaq Thaif (Kesepakatan Thaif) pada tahun 1989 dan diresmikan secara konstitusional pada tahun 1990. 

Pembagian kekuasan ini mungkin saja baik pada masanya, atau memang sudah sejak awal didesain untuk jangka pendek, dan saya lebih condong pada yang kedua. Sebab, mau dilihat dari aspek manapun, pembagian sektarian lebih banyak menunjukkan sisi rapuhnya dari pada sisi ampuhnya. Dan, tak bisa dipungkiri segala huru-hara yang terjadi di Lebanon merupakan bagian dari akumulasi berbagai persoalan dan dinamika politik yang terus bergulir begitu cepat dan seringkali bersifat konfliktual.

Peralihan generasi tak selalu beriringan dengan peralihan kesepahaman untuk terus menjaga perdamaian. Apalagi, bonus demografi menjadi faktor yang juga menentukan, sementara pada waktu yang bersamaan ia juga sangat dinamis. Dan terlalu berisiko bila tolak ukur statistik menjadi bagian penentu bagi perumusan pembagian kekuasaan. 

Tentu saja polanya akan dengan mudah bisa dibaca, kelompok yang diuntungkan dengan sistem pembagian, mereka akan cenderung memilih diam saja, sedangkan kelompok yang merasa dirugikan karena bonus pertumbuhan demografi yang terus terjadi, mereka akan cenderung mengotak-atik sistem pembagian tersebut.

Akhirnya sejak awal, pembagian kekuasaan tak lebih dari sekedar bom waktu, yang tinggal menunggu momentum saja untuk menjadi sebuah ledakan hebat. Dan ketika sebuah ledakan dahsyat benar-benar terjadi baru-baru ini, semua entitas dan seluruh lapisan masyarakat Libanon benar-benar diuji: apakah ledakan besar di tengah-tengah krisis ekonomi tersebut akan memperkuat konsolidasi; atau justru akan menciptakan ketegangan baru bagi rakyat Libanon.

Penyelidikan dan investigasi terus dilakukan, beban kerugian yang harus ditanggung oleh negara sudah pasti sangat besar, warga yang terdampak langsung diliputi rasa trauma dan kehilangan, terutama para warga yang sampai saat ini terus hilir mudik ke rumah-rumah sakit untuk mencari keluarga dan sanak familinya yang masih belum ditemukan.

Pemerintahan Libanon kini benar-benar menghadapi masa-masa paling sulit. Stabilitas politik berdasarkan pembagian kekuasaan dalam bentuk sektarian kini perlu disoroti kembali dan barangkali perlu dievaluasi. Masa kejayaan Lebanon sebagai “Swiss-nya Timur Tengah” atau “Paris-nya Timur Tengah” bagaimanapun sudah berlalu. Barangkali ia hanya menjadi nostalgia yang menghiasi buku-buku sejarah Lebanon. Realitas telah berubah, ledakan dahsyat yang terjadi kemarin adalah peristiwa yang sungguh nyata. 

Di sini saya berkesimpulan bahwa cara paling efektif dan efisien untuk ‘merawat’ konflik di Timur Tengah adalah dengan memandang dan mengkonversi Timur Tengah ke dalam sekte-sekte. Begitulah Timur Tengah terus ‘merawat’ dirinya sendiri dalam kubangan konflik yang tak ada habisnya. Lebanon menjadi negara yang dikonversi secara nyata ke dalam sekte-sekte yang ada. 

Dampak dari itu semua bisa kita saksikan dan bisa kita rasakan di Indonesia, bagaimana aliran-aliran yang ada, seperti Sunni dan sakte Syiah selalu dibentur-benturkan dan mungkin juga tanpa disadari, kita ikut berperan dalam ‘merawat’ persoalan ini. Wallahua’lam.