Sebagai seorang wanita, saya sering meresahkan kejadian yang telah terjadi dan mengkhawatirkan kejadian yang belum terjadi. Apakah Anda sering menghadapi hal yang sama?

Riset telah menunjukkan bahwa wanita memang yang paling sering overthinking daripada laki-laki.

Terlalu memikirkan hal-hal yang detail dan menuntut kesempurnaan. Berujung dengan merasa takut, cemas, tidak percaya diri untuk menghadapi sesuatu yang belum tentu terjadi kedepannya.

Jika yang kita pikirkan adalah masalah yang berkenaan dengan akhirat maka ini terpuji, karena semakin kita takut akan kerugian dan kegagalan di akhirat, kita akan semakin rajin dan semangat dalam beribadah.

Oleh karena itu dikatakan, barang siapa yang takut kepada sesuatu maka ia akan menjauh darinya. Dan barang siapa yang takut kepada Allah, maka ia akan mendekatiNya.

Bahkan kita dianjurkan untuk selalu menginstropeksi diri kita. Memperhatikan amalan diri, jika berupa kejelekan maka harus ditinggalkan dan apabila amal kebaikan maka harus terus dipertahankan (A’malul Qulub, hal. 362)

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata,

‎حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا

“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (kelak pada hari kiamat.”

Adapun overthinking terhadap perkara dunia, yaitu dalam bentuk mencemaskannya, memanjangkan angan-angan terhadapnya, maka ini tercela.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

‎لا يطولنّ عليكم الأمد ولا يلهينّكم الأمل فإنّ كلّ ما هو آت قريب، ألا وإنّ البعيد ما ليس آتيا

Janganlah kalian panjang angan-angan, dan jangan sampai kalian terlena oleh panjang angan-angan. Sesungguhnya semua yang sedang terjadi itu yang dekat. Dan sesuatu yang jauh adalah yang belum datang” (HR. Ibnu Majah no. 3 secara marfu‘, namun yang shahih adalah mauquf dari Ibnu Mas’ud. Disebutkan Ibnul Qayyim dalam al-Fawaid, hal. 200)

Betapa banyak perkara yang takkan melukaimu, namun hatimu begitu takut dan gundah karenanya. (Al-Ashma’iyyaat 184)

Jangan sampai overthink ini mempengaruhi kehidupan kita, berpikiran negatif dan menghalangi kemajuan.

Al-Quran mengingatkan kita untuk senantiasa menyerahkan semua urusan kita kepada Allah, menggantungkan harapan kita hanya kepada Allah.

‎وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hambaNya.” (QS. Ghafir: 44)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah Maha Bijaksana di antara yang bijaksana, Maha Pengasih di antara para pengasih, dan Maha Mengetahui di antara yang mengetahui. Dia lebih sayang kepada hamba-hambaNya daripada mereka, ayah atau ibu mereka terhadap diri mereka sendiri. Apabila Allah menimpakan sesuatu yang tidak disukai kepada mereka, berarti pada dasarnya itulah yang terbaik bagi mereka. Hal itu dilakukanNya karena mempertimbangkan manfaat bagi mereka, di samping sebagai bentuk kebaikan dan kelembutan dariNya untuk mereka. Seandainya hamba-hambaNya diberikan kebebasan untuk memilih sendiri jalan hidupnya, niscaya mereka tidak akan sanggup mewujudkan kemaslahatan bagi diri mereka sendiri, baik kebaikan dalam hal pengetahuan, kehendak, maupun perbuatan.” (Fawaidul-Fawaid, Pustaka Imam Syafi’i halaman 247)

“Keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala termasuk faktor utama untuk membangkitkan mentalitas dan sebab pertama untuk meraih kemuliaan nya. Hal itu disebabkan keimanan kepadaNya akan membangkitkan keberanian dan menyerukan keteguhan, juga kesungguhan dan ketekunan. Selain itu, keimanan kepada Allah merupakan sebab pertama untuk mempermudah segala persoalan serta mendatangkan berbagai keberkahan pada amal dan umur”. (Naqdhul-Mantiq karya Ibnu Taimiyyah (halaman 8), dan Hidayatul-Hayara fi Ajwibatil-Yahud wan-Nashara karya Ibnul Qayyim (halaman 234-248)

Maka hapuslah perasaan gundah dan gulana di hati kita, utamakan pemikiran positif dan baik sangka kepada Allah.

Lakukanlah hal-hal yang bermanfaat yang bisa kita lakukan, isi waktu kita dengannya dan selalu tawakkal kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Bersungguh-sungguhlah pada perkara-perkara yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu katakan: ‘Seandainya aku berbuat demikian, pastilah akan demikian dan demikian’ Akan tetapi katakanlah: ‘Qaddarallah wa maa syaa fa’ala (Allah telah mentakdirkan hal ini dan apa yang dikehendakiNya pasti terjadi)’. Sesungguhnya perkataan ‘Seandainya’ membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Ahmad 9026, Muslim 6945, dan yang lainnya)

Diantara doa yang dapat kita baca untuk mengusir kegalauan adalah yang terdapat di dalam hadits dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba tertimpa suatu kegalauan dan kesedihan kemudian dia berdoa,

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ

Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba (laki-laki)-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, telah lewat bagiku hukum-Mu, keadilan takdir-Mu bagiku. Aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu sendiri, atau Engkau ajarkan kepada seorang dari hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelapang kesedihanku, dan penghilang kegalauanku.’

Kecuali Allah ‘azza wa jalla akan mengangkat kegalauannya dan Allah akan mengganti kesedihannya dengan kegembiraan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sebaiknya kami mempelajari rangkaian kalimat (doa) tersebut?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu. Hendaklah muslim yang mendengar (doa dalam hadis ini) untuk mempelajarinya.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad 1: 391 dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 198)

Maka cukuplah bagi kita untuk memikirkan perkara dunia sewajarnya, karena bagaimanapun kehadiran kita di sini hanya bagaikan pengembara, yang harusnya sibuk mempersiapkan berbagai bekal untuk kembali ke tujuan asal.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6416)

Penulis: Annisa Auraliansa

Referensi web:

Sumber: https://muslimah.or.id/16605-overthinking.html
Copyright © 2024 muslimah.or.id