PA 212 menolak sejarah Tan Malaka masuk pelajaran sekolah. Hal ini kian membuktikan, perbincangan soal komunis di negeri kita ini tidak jarang hanya mempertontonkan kebodohan. Penolakan Tan Malaka masuk dalam pelajaran sekolah oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212 adalah bukti paling terbaru. Alasan penolakan mereka hanya disandarkan pada ideologi yang dianggap lekat dengan sosok kelahiran tanah Padang tersebut.

Hubungan antara sosok Tan Malaka dengan ideologi komunis atau sosialisme memang fakta sejarah. Sama halnya dengan kedekatan Soekarno dan para pendiri bangsa sebab ideologi itu, bersama ideologi lain seperti Islamisme adalah zeitgeist, semangat zaman waktu itu, sebagai lawan imperialisme/kolonialisme.

Rasanya bukti-bukti terkait relasi tersebut bisa diakses atau ditemukan dengan sangat mudah. Namun, apakah kemudian sosok Tan Malaka tidak bisa masuk dalam pelajaran sekolah? Tentu saja tidak. Kita tidak saja wajib mengenal sosoknya, namun pemikiran Tan Malaka seharusnya turut dipertimbangkan

***

Ideologi komunis dalam imaji kalangan konservatif di Indonesia, macam PA 212, hanya berkisar pada dua hal, yakni ateis dan PKI. Pendapat kelompok ini yang mengasosiasikan Tan Malaka sebagai tokoh komunis adalah sebuah pembodohan. Jadi, apa yang salah dalam konsep PA 212 ketika menolak hal ini?

Padahal, jika kita mau membaca dan mendalami dinamika ideologi tersebut, termasuk relasinya dalam kisah hidup dan pemikiran Tan Malaka, mungkin pengetahuan mereka bisa sedikit lebih maju. Kok bisa?

Mengutip kata-kata Asvi Warman Adam, peneliti dari LIPI, di laman historia.id, Tan Malaka keluar dari PKI karena tak setuju pemberontakan PKI 1926-1927. Oleh karena itu, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali.

Fakta di atas hanya secuil dari dinamika ideologi yang dianggap tabu di Indonesia ini. Sayangnya, stigma tersebut menjadikan nama Tan Malaka dihapuskan dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Sehingga dalam buku teks sejarah dia tidak boleh disebut.

Padahal sosok Tan Malaka sebenarnya tidak bisa dipandang remeh dari segi intelektual. Bejibun karya Tan Malaka yang bisa diakses dengan sangat mudah adalah bukti sahih. Di antara kalimat abadi dari Tan Malaka, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”.

Kiprah Tan Malaka dalam rentang sejarah Indonesia jelas sekali bukan kaleng-kaleng, dia malah ditetapkan sebagai pahlawan oleh Presiden Soekarno di tahun 1963. Memang Tan Malaka menjadi off the record dalam sejarah Orde Baru. Baru setelah reformasi namanya ditampilkan kembali. Muncullah karya baru atau buku-buku lama tentang atau oleh Tan Malaka yang pada masa Orde Baru sempat dilarang.

Dalam biografinya, perjumpaan Tan Malaka dengan ideologi komunisme dimulai sejak ia memutuskan untuk bersekolah di Belanda. Selama di sana, dia mulai membaca tentang revolusi mulai muncul dan meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma.

Baca juga: PA 212 menolak RUU Cipta Kerja, Kok Ujungnya Komunis? Nggak Nyambung

Dia disebut mulai tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme pasca Revolusi Rusia meletus pada Oktober 1917,. Sejak saat itu, ia sering membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia pada masa itu. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara, serta kebudayaan dan sejarah yang diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoretis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Bagaimana bisa sosok pahlawan Indonesia yang menulis dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia ini ditolak untuk dimasukan kembali dalam pelajaran sejarah Indonesia. Jika memakai istilah yang sering dipakai oleh Rocky Gerung, “Di mana akal sehatnya?”

***

Seperti yang sudah saya bilang di atas, jika dibanding dengan apa yang dilakukan oleh kelompok yang menolaknya jelas bagaikan langit dan bumi. PA 212 hanyalah kelompok yang sering memakai mobilisasi massa sebagai modal politiknya.

Untuk itu memelihara eksistensi PA 212 di tengah masyarakat Indonesia, para aktor dalam kelompok tersebut melakukan berbagai cara, diantaranya memanipulasi simbol agama. PKI dan Ateisme adalah isu yang paling sering dipakai oleh mereka. Sebab, simbol PKI dan Ateisme telah lama ditanam sebagai simbol musuh umat Islam dan masyarakat Indonesia. Walau kebanyakan imaji dalam pernyataan mereka sering sekali ngawur.

Dengan memakai simbol tersebut sebagai musuh utama mereka, PA 212 jelas dalam sekejap mendapatkan atensi yang besar. Terlebih mereka seringkali menempatkan diri sebagai “juru bicara umat Islam”.

Dale Eickelman dan James Piscatori dalam buku Ekspresi Politik Islam menjelaskan bahwa modal yang biasa digunakan oleh aktor-aktor yang lekat dengan Islam Politik, yakni penggunaan simbol agama untuk menghadirkan citra mereka. Teori ini digunakan baik mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan (baca: negara) dan aktor-aktor agama yang ingin menguatkan persaingan dengan kekuasaan, termasuk dengan kelompok Islamisme yang lain.

Eickelman dan Piscatori mendedahkan beberapa contoh manipulasi simbol Islam yang dilakukan oleh kelompok Islamis, seperti simbol sejarah masa lalu atau kesalehan yang digunakan untuk meneguhkan posisi dan meraup dukungan dari masyarakat Islam.

Sebagaimana PA 212 juga menggunakan dua simbol tersebut dalam menarik dukungan dari publik Islam Indonesia. Maka tak heran jika mereka seringkali menggunakan narasi “perjuangan umat Islam untuk Indonesia” dan menggunakan posisi beberapa petingginya sebagai otoritas agama. Sayangnya, ketika mereka memanipulasi simbol Islam secara serampangan dan tercampur aduk dengan isu-isu lain, macam asing-aseng, Tiongkok hingga keamanan Negara.

Tak heran jika penolakan mereka atas usulan memasukan Tan Malaka disandarkan pada imaji yang salah dan pemahaman yang tak utuh. Walaupun begitu, wacana mereka jelas masih laku dikonsumsi. Sebab, emosi warga sudah kadung terbakar dan dibutakan dengan segregasi politik yang begitu kuat.

Pengaruh kelompok-kelompok macam PA 212 ini yang mendaulat diri sebagai juru bicara umat Islam jelas sekali masih besar. Oleh sebab itu, tugas untuk menghadirkan kembali narasi Islam yang terbuka, ramah dan inklusif jelas masih membutuhkan kerja keras dan waktu yang tidak sebentar. Perjuangan masih panjang kawan.

 

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin