Sedari awal manusia sudah diberi kelebihan dan kekurangan masing-masing dan itu mutlak fa alhamahaa fujuurahaa wa taqwaahaa (Tuhan sudah memberi dua potensi besar berupa kebaikan dan keburukan). Bisa jadi kelemahan pada diri kita justru menjadi keunggulan bagi orang lain, atau sebaliknya potensi atau kelebihan pada diri justru bagi orang lain menjadi kelemahan dan kekurangannya.  Itu sebabnya, sikap “ketersalingan” menjadi jalan tengah untuk menghubungkan rasa kemanusiaan pada sesama.

Misalnya, Tuhan tegaskan wa tawashaw bil haq (hendaklah saling menasihati pada kebenaran), artinya di antara sesama sangat mungkin ada yang khilaf, lalai bahkan salah, sehingga dibutuhkan saling mengingatkan dan menasihati agar terhindar pada kelompok merugi (al-khaasiruun).

Dalam ayat lain, Allah menegaskan wa tawashaw bil marhamah (hendaknya saling menasihat akan kasih sayang). Ini isyarat bagi setiap orang bahwa cara mengasihilah yang menyatukan, bukan permusuhan dan pertikaian.  Terlebih ketika Tuhan tegaskan litaarafu (untuk saling mengenal), yang dikehendaki tak boleh menutup diri, kolot dan kaku, dan yang diharapkan Islam adalah terbuka dan saling memahami.

Lalu dengan kesalingan ini, semestinya melahirkan apa dan apa tujuannya? Adanya kesalingan itu meniscayakan untuk saling menghargai, melindungi dan memberi jaminan. Menurut Prof. Darwis Hude salah satu bukti pentingnya ketersalingan Tuhan sendiri menundukkan “egonya” kepada Iblis untuk mengajak dialog agar tunduk pada Nabi Adam. Artinya, Tuhan sebagai pencipta masih ingin melakukan dialog dan bujukan pada Iblis untuk sujud pada Adam. Pada konteks ini pun sejatinya semakin mempertegas sesama makhluk (Iblis dan Nabi Adam) punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Namun, kebuntuan ketersalingan ini umumnya terjadi di masyarakat  jika menyangkut hubungan antara laki laki dan perempuan. Tak sedikit dalam berbagai persoalan (aspek budaya, agama dan sosial) perempuan selalu di bawah bayang-bayang dominasi ego dan pemikiran kaum laki. Laki laki kerap terbelenggu dengan posisinya sebagai laki laki, sehingga nasib perempuan ditentukan oleh keputusannya.

Padahal mereka tak sadar laki laki dan perempuan dua makhluk jenis yang berbeda tapi mengisi, saling melengkapi kekurangan dan kelebihan masing-masing.  Untuk meyakinkan ketersalingan sebagai kewajiban dalam berbagai aspek setidaknya dilihat pada dua hal:  Pertama, perempuan dan laki sama sama perannya sebagai hamba. Hal ini dipertegas QS al-Dzariyyat 56 (tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghambakan diri). Tuhan sendiri yang mempertegas bahwa laki laki dan perempuan dua jenis yang berbeda tapi memiliki tujuan yang sama dalam hidup. Artinya, kualitas ibadah dan penghambaan manusia pada Tuhannya, tak dipandang karena jenisnya melainkan totalitas pengabdiannya.

Kedua, awal kenabian Muhammad, kontribusi perempuan cukup signifikan dalam meletakkan nilai dasar Islam. Menurut Faqihuddin, wahyu pertama yang diterima oleh Nabi SAW sebagai letak dasar pondasi Islam punya peran kesalingan perempuan dalam hal ini Siti Khadijah. Seorang Khadijah yang pertama kali diceritakan oleh Nabi bahwa ia menerima Wahyu bahkan dialah yang meyakinkan dan menenangkan Nabi SAW ketika Nabi merasa gemetar dan kedinginan usai mendapatkan wahyu “dilantik” menjadi Nabi SAW.

Kalau toh Islam meletakkan nilai kesalingan yang memposisikan peran laki laki dan perempuan sama, mengapa gejolak keegoan laki itu masih berlaku di masyarakat bahkan diklaim itu adalah ajaran Islam? Menjawab ini setidaknya dengan dua alasan, yaitu problem pada pemahaman dan penerapan. Pemahaman yang bias terhadap keberadaan perempuan terlebih dengan dalil agama akan berdampak pula kehidupan sehari hari.