Apakah dengan adanya fenomena penghapal al-Qur’an yang gagal mengaplikasikan ilmu, tidak berlaku baik, dan tidak berprestasi di masyarakat, lalu menjadikan kita boleh menggeneralisir bahwa semua penghapal al-Qur’an itu useless?

“Menghapal al-Qur’an itu useless,” begitu kata seseorang dalam postingan facebook yang rupanya diaamini oleh banyak temannya. Mereka pikir, buat apa anak kecil diajarkan menghapal sesuatu yang belum tentu bisa dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupannya? Bukankah lebih baik anak langsung diajarkan tentang life skill yang bisa bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari?

Memang, pemikiran itu bisa saja tidak berangkat dari ruang hampa. Mungkin saja, pernah satu atau dua kali kita mendengar skandal yang, kebetulan, pelakunya adalah para penghapal Qur’an atau para tokoh masyarakat yang dikenal sebagai ustaz di kampungnya.

Tentu hal ini membuat kita kecewa. Penghapal al-Qur’an yang seharusnya berakhlakul karimah tetapi malah melakukan perbuatan tercela yang meresahkan masyarakat.

Lalu, ada juga yang berpendapat bahwa menghapal al-Qur’an adalah kegiatan yang buang-buang waktu. Yah, semacam kegiatan nir-faedah yang merampas kebahagiaan anak-anak lewat mencuri waktu bermain mereka. Atau, mematikan potensi dan daya kreasi anak karena mereka hanya dibuat sibuk dan fokus untuk menghapal al-Qur’an. Ringkasnya, menghapal Qur’an membuat anak gagal berkembang sesuai umurnya sehingga tidak memiliki life skill yang cukup untuk menopang kehidupannya.

Pertanyaannya, apakah benar demikian?

Sebagai ibu dari seorang anak yang sedang berjuang menghapal al-Qur’an, saya punya pengalaman lain. Bagi saya, mengajarkan kitab suci kepada anak itu tidak beda dengan mengajarkan mereka bermusik. Seorang Hafiz Qur’an, umpamanya, adalah musisi yang memiliki genre tersendiri.

Ya, seorang pemusik yang mempunyai bakat alami dalam bermusik pasti menyukai musik dan mudah mempelajarinya. Bisa jadi, bakat bermusik mereka sudah mulai dikembangkan sejak kecil. Kemungkinan pendidikan mereka pun juga telah diarahkan sedemikian rupa untuk menjadi seorang pemusik handal di masa depan. Mereka didukung oleh infrastruktur yang memadai untuk mengasah bakat dari kecil, mempelajari berbagai macam alat musik, melatih vokal, menajamkan intuisi dan kapasitas bermusik, sampai memperbanyak jam terbang agar bisa menembus belantika musik Indonesia bahkan dunia.

Saya melihat hal ini tidaklah berbeda dengan para penghapal al-Qur’an. Anak saya, misalnya, menyukai lantunan bacaan kitab suci al-Qur’an sejak usia dua tahun. Berawal dari hobi mendengarkan azan, anak saya makin mantap dengan kegemarannya mendengarkan suara orang mengaji. Kemudian dia mulai tertarik dengan membuka-buka kitab suci dan ingin memilikinya sendiri.

Saya lalu berinisiatif membelikannya sebuah buku Iqro’ (semacam buku panduan belajar membaca al-Qur’an). Ia menunjuk huruf dan saya bacakan. Lambat laun ia pun mulai menirukan. Dan, saat anak saya berumur empat tahun, ia mulai lancar membaca al-Qur’an. Terang saja saya takjub. Rasanya tak banyak yang saya ajarkan kepadanya. Tapi dengan intensitas dan makin seringnya ia mendengar murotal dan belajar qiro’ati di taman kanak-kanak, ia mampu menyelesaikan 6 jilid sekaligus dan berlanjut ke al-Qur’an di usia balita.

Malahan, membaca huruf latin saja ia terbilang belum mampu, tapi secara fasih ia sudah bisa melafazkan huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan makhroj dan tajwidnya. Berkat hal tersebut, ia memperoleh gelar lulusan terbaik dari taman kanak-kanaknya.

Kemudian, anak saya melihat program televisi Hafiz Qur’an yang tayang di sebuah stasiun TV swasta. Ia pun jadi ikut tertarik untuk menjadi penghapal al-Qur’an.

Awalnya, saya pikir itu hanyalah ketertarikan sesaat. Ternyata minat itu masih hangat sampai sekarang. Saat usianya genap 9 tahun, anak saya masih sangat menyukai al-Qur’an. Wujud kesenangannya itu diaplikasikan dengan meminta beberapa eksemplar al-Qur’an yang kemudian ditaruhnya di beberapa tempatnya beraktivitas. Pokoknya, dia mau al-Qur’an terus ada di dekatnya.

Tentu, menghapal al-Qur’an tidak semudah membacanya. Terlebih lagi saya tekankan kepadanya untuk memahami arti bacaannya dan asal muasal diturunkannya ayat. Proses menemani perjuangannya menghapal al-Qur’an inilah yang membuat saya berpikir bahwa apa yang dilakukannya adalah juga sebuah kesenian. Ini tak jauh beda dengan belajar bermusik.

Anak saya belajar melafalkan huruf-huruf dengan tepat. Dia secara tekun memahami tempat keluar huruf dari mulut yang harus dengan jeli diperhatikan hak-haknya. Setiap huruf memiliki pelafalan yang berbeda, ada yang berdesis, ada yang harus diucapkan dengan tebal maupun tipis, ada yang boleh dipantulkan dan ada yang tidak boleh. Kelak, pelafalan dengan tepat huruf-huruf inilah yang bisa menghasilkan alunan yang indah saat kita membaca al-Qur’an.

Nah, tepat pada kesadaran itulah, ini serupa dengan seorang calon musisi yang sedang mempelajari tangga nada dan not balok. Setiap not memiliki bunyi yang berbeda. Ada yang penuh, 1/2, 1/4, 3/4 sebelum akhirnya dirangkai untuk menghasilkan alunan nada demi musik yang indah.

Dalam membaca al-Qur’an, ada ketentuan berupa tanda waqof yang membuat kita tidak boleh menghentikan ataupun melanjutkan bacaan secara serampangan saat membaca ayat al-Qur’an. Maka, anak saya pun belajar pernapasan agar dapat membaca panjang pendek bacaan secara tepat tanpa kelelahan. Saya pikir, ini serupa dengan para musisi yang sedang berlatih vokal agar dapat membawakan lagu yang pas dan enak didengar.

Anak saya pun berlatih membagus-baguskan suara dan belajar melagukan bacaan agar suaranya terdengar indah saat membaca al-Qur’an. Ia belajar langgam dan tajwid lantas menghapalnya seperti not-not lagu agar “nyanyian”-nya bukan hanya sekedar indah, tapi juga sesuai kaidah. Bukankah hal ini juga yang dilakukan oleh para penyanyi?

Saat para pemusik menghapalkan semua nada dan lagunya di luar kepala, para penghapal al-Qur’an juga melakukan hal yang sama.

Dan, saat ini, baik pemusik maupun penghapal al-Qur’an masing-masing memiliki panggung yang disediakan oleh orang-orang yang menggemari mereka. Jadi, para penghapal al-Qur’an pun bisa tampil membawakan bacaan al-Qur’an-nya di tempat orang-orang yang menginginkannya. Sama halnya dengan para pemusik.

Mereka sama-sama punya panggung. Mereka sama-sama punya penggemar. Panggung dan penggemar mereka akan terus ada dari masa ke masa. Jadi, jika ada pendapat yang bilang bahwa penghapal al-Qur’an itu useless dan tidak memiliki masa depan yang berkaitan dengan hal yang ditekuninya, saya jamin bahwa yang demikian itu adalah pendapat so yesterday yang sepenuhnya tidak bisa dianggap benar.

Sebagai bukti, kita punya Musa yang menjuarai lomba MTQ tingkat internasional di Mesir. Kita juga punya seorang Nabila yang sukses menjadi juri kompetisi penghapal al-Qur’an. Ada Wirda Mansur, Muzammil Hasballah, Zainal Abidin yang berjaya di musabaqoh al-Qur’an di Turki, Salman Amrillah di Iran, Miftahul Jannah, dan lainnya.

Para qori dan qori’ah yang mempelajari al-Qur’an sejak kanak-kanak ini berhasil mengharumkan nama bangsa. Mereka bisa tampil membaca al-Qur’an dan memperoleh kebaikan yang dapat menopang kehidupannya. Baik secara material maupun immaterial.

Laksana para musisi hebat yang memiliki feel yang kuat dalam bermusik, para penghapal al-Qur’an pun tak akan mungkin dapat membunyikan al-Qur’an dengan indah sekaligus sesuai kaidah, jika mereka tidak disiplin dan konsisten berlatih.

Mereka tidak mungkin bisa menghapal al-Qur’an dan membacanya dengan penuh penghayatan jika tidak mengerti maknanya. Mereka tak akan bisa memahami tajwid dan sifat-sifat huruf jika tidak berjihad lewat membaca, menghapal, dan mengulang-ulang hafalan Qur’an. Mereka tidak mungkin mudah menghapal al-Qur’an, jika Alqur’an tidak ada dalam hati mereka.

Disiplin, konsisten, rela bersusah payah, tak mudah jemu, dan bersungguh-sungguh dalam mencapai tujuan, serta mencintai apa yang dilakukan adalah sejumlah kunci krusial yang musti dimiliki setiap orang. Bukankah ini life skill yang sangat dibutuhkan untuk menyongsong kehidupan di masa depan?

Jika anak bisa bermain musik dianggap berbakat, kenapa anak yang pandai membaca dan menghapal al-Qur’an malah dipandang sebelah mata? Jika anak pandai bermain musik bisa dianggap sebagai modal kesuksesan, kenapa anak yang pandai membaca al-Qur’an dianggap useless?

Baca Juga, Hafalan Qur’an Ustaz Maaher At-Thuwailibi dan Alarm Bagi Warga Pesantren

So, berhentilah untuk julid kepada anak dan orangtua yang menggeluti bakat dan minat berbeda dengan apa yang keluarga kita jalani. Kita bukan Tuhan yang berhak memvonis masa depan orang lain. Apalagi jika vonis kita hanya disandarkan pada satu dua kejadian yang mungkin tidak kita ketahui pasti kebenaran dibaliknya. Karena generalisasi yang serampangan juga merupakan sebuah kejahatan!