Masih melanjutkan artikel sebelumnya yang mengulas Surat Ali Imran Ayat 104 tentang perintah amar ma’ruf nahi munkar, tulisan kali ini akan mengulas Ayat 105 yakni larangan berselisih. Ayat larangan ini menjadi bagian dari ayat-ayat moderasi yang merepresentasikan visi moderasi beragama yaitu persatuan khususnya sesama anak bangsa. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

wa laa takuunuu ka alladziina tafarraquu min ba’di maa jaa’ahum al-bayyinaatu wa ulaa’ika lahum ‘adzaabun ‘adziim.

Artinya:

“Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan azab.” (Surat Al-Maidah ayat 105)

Sebagaimana pada ayat yang lalu, ayat ini ditujukan kepada umat Nabi Muhammad saw agar menjadi umat yang bercerai-berai dan berselisih. Mayoritas para mufasir mulai Ibnu Jarir al-Thabar, al-Zamakhsyari, hingga Ibnu ‘Asyur menilai bahwa yang dimaksud dalam ayat dengan contoh orang-orang (ka alladzina) adalah Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani. Mereka terkotak-kotak dan berselisih ketika kebenaran wahyu telah datang kepada mereka.

Agak berbeda dengan para mufasir di atas, Ibnu Katsir mengutip sebuah hadis populer yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal ketika menjelaskan ayat ini. Diceritakan bahwa Abu Sufyan bin Muawiyah baru tiba ke Mekah dan menemui Rasulullah setelah salat dzuhur, ia mengatakan:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إنَّ أهْلَ الْكَتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثنتيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وإنَّ هذِهِ الأمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً الحديث …”

Artinya:

Rasulullah saw bersabda: Dua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) akan terpecah dalam agama mereka pada tujuh puluh dua golongan, dan umat ini akan terpecah hingga tujuh puluh tiga golongan.

Dari kutipan hadis di atas kita bisa melihat bagaimana Ibnu Katsir tidak hanya melihat kepada golongan lain saja, tetapi juga melakukan introspeksi ke dalam golongannya sendiri. Artinya, dari sabda Rasulullah saw ini kita bisa tahu perbedaan ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa dielakkan bahkan dalam satu agama yang sama. Pertanyaannya kemudian bagaimana seharusnya kita memahami dan bersikap atas ayat ini?

Penjelasan menarik diungkapkan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah. Menurutnya apa yang dilukiskan dalam ayat hendak menerangkan bahwa orang-orang yang beriman dan bersatu akan beruntung dan memperoleh kenikmatan dunia dan akhirat, sedangkan orang-orang yang tidak beriman dan berselisih akan celaka dan mendapatkan malapetaka di dunia dan akhirat.

Quraish menambahkan bahwa ayat ini tidak melarang umat untuk berkelompok atau berbeda pendapat, yang dilarang adalah berselisih (ikhtalafu) dalam prinsip ajaran agama. Perbedaan yang bukan prinsip tidak mungkin dihindari. Bahkan dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 48 Allah Swt berfirman: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Q.S al-Maidah [5]: 48).

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar ketika menjelaskan ayat ini mengatakan bahwa perpecahan timbul dikarenakan hawa nasfu. Mereka meninggalkan prinsip karena kepentingan pribadi. Bagi Hamka, yang menghambat persatuan dan menimbulkan perpecahan bukan perbedaan pendapat atau pemikiran, akan tetapi kepala batu yang tidak menerima dan lapang dada atas perbedaan.

Hamka mencontohkan Imam Syafi’i ketika baru tiba di Baghdad, ia dipersilahkan untuk menjadi Imam shalat Subuh. Imam Syafi’i ternyata tidak membaca qunut, padahal orang-orang tahu bahwa ia memandang qunut sebagai sunnah muakkad yang jarang ditinggalkan. Setelah shalat, ada yang bertanya soal ini, Imam Syafi’i menjawab, di daerah ini fatwa Imam Hanafi yang biasa dipakai, sehingga ia tidak mau mengganggu perasaan orang-orang, apalagi ketika ia baru datang.

Dari ayat dan penjelasan para mufasir di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa pada prinsipnya perbedaan merupakan sebuah keniscayaan. Akan tetapi berpegang teguh pada nilai dasar atau prinsip tidak boleh ditawar. Sebagai sebuah kenikmatan, persatuan perlu disyukuri dengan cara dirawat dan dipupuk terus menerus.

Rasulullah SAW meneladankan kepada kita untuk menjaga persatuan dengan membuat Piagam Madinah. Perjanjian yang disepakati penduduk Madinah dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda-beda. Nabi saw berhasil mengikat dan mengeratkan keragaman para penduduk Madinah dengan identitas Madinah sebagai pemersatu.

Bila kita tarik ke Indonesia, para pendiri bangsa juga telah merumuskan konsep dan dasar berbangsa untuk mempersatukan orang-orang dengan berbagai macam identitas. Semangat persatuan dalam keragaman inilah yang telah ditekankan para pendiri bangsa.

Sebagai akhir artikel ini, penulis ingin mengutip pidato Soekarno di depan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945 yang dikenal sebagai pidato kelahiran Pancasila:

“Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Negara Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan Negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu?

Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan engara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua untuk semua” …. Karena itu, jikalau Tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.”

Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI