Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa hari lalu mengeluarkan fatwa tentang penggunaan salam lintas agama. Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, terutama pejabat pemerintah, mereka mengucapkan salam yang digunakan agama resmi di Indonesia dalam acara formal. Kalau pejabat muslim misalnya, dia akan mengucapkan “Salam sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om swastiastu, Namo buddhaya, dan Salam Kebajikan” setelah mengucapkan Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. MUI dalam putusannya tersebut tidak memperbolehkan salam lintas agama semacam ini.

Dikutip dari laman resmi MUI, Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama bukanlah makna toleransi yang dibernakan. Karena mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ibadah. Karenanya, harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain. Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Putusan Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan ketika dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum atau salam nasional yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain.

Putusan MUI ini menimbulkan perdebatan di ruang publik, khususnya di media sosial. Beberapa pejabat Kementerian Agama pun juga merespon hal ini. Pandangan mereka berbeda dengan putusan MUI dan menganggap bahwa salam lintas agama merupakan praktik baik, serta tidak tepat kalau dihukumi haram. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, “Fatwa itu sifatnya rekomendasi, salam enam agama itu kan praktik baik untuk menjaga toleransi. Tidak semuanya harus dikaitkan dengan ubudiah. Jangan hanya dilihat dari sisi teologisnya saja, tapi sisi sosiologisnya juga harus dipertimbangkan, bahwa salam ini untuk menjaga, saling menghormati antar sesame umat beragam. Apa iya, saya yang muslim mengucapkan salam kepada non-muslim keimanan saya tertanggu? Atau sebaliknya, non-muslim mengucapkan Assalamu’alaikum keimanan mereka berpaling?.”

Sebetulnya, fatwa salam lintas agama ini sudah didiskusikan sejak lama di MUI Provinsi Jawa Timur. Sebelum Ijtima’ Ulama VIII, MUI Jawa Timur tahun 2019 juga mengeluarkan imbauan agar umat Islam tidak melakukan salam lintas agama, karena dinilai syubhat yang merusak kemurnian agama. Muchlis M. Hanafi, mantan kepala Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kementerian Agama RI mengatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Yaqut Cholil Qoumas. Menurutnya, salam lintas agama kalau pendekatannya teologis-esoteris memang pelik. Tetapi dengan pendekatan sosiologis, kita akan mudah menemukan jalan tengah.

Dalam bersosial, terkadang harus ada mujamalah (basa-basi) di antara masyarakat yang multikultural. Saling mendoakan, menebar damai, mengucapkan salam lintas agama hanyalah sebatas tegur-sapa dan bentuk penghormatan kepada semua pemeluk agama sebagai sesama warga bangsa yang telah berkomitmen untuk hidup rukun. Hal ini tidak akan sampai pada ranah keyakinan. Terlalu jauh kalau dimaknai sebagai pengakuan dan permohonan doa kepada tuhan selain Allah.

Permasalahan ini juga sama dengan hukum mengucapkan selamat natal. Beberapa ulama kontemporer, kata Muchlis M. Hanafi, membolehkan ucapan selamat natal karena bagian dari muamalah dan termasuk kategori perbuatan baik yang tidak terlarang seperti disebutkan dalam surat al-Mumtahanah ayat 8. Di antara ulama yang membolehkan ini adalah Yusuf al-Qaradhawi, Nasr Farid Washil, Ali Jum’ah, dan lain-lain.

Sebagai jalan tengahnya, menurut ahli tafsir lulusan al-Azhar ini, imbauan ini mungkin akan relevan bagi orang yang merasa imannya terganggu bila ia mengucapkan salam lintas agama. Begitu pula bagi masyarakat umum yang tidak ada kepentingannya dengan salam itu. Sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan mengucapkannya. Namun tidak perlu juga melarang atau meragukan iman orang yang karena tuntutat pergaulan atau untuk menjaga hubungan baik harus mengucapkan salam lintas agama.